Meira dan Gadis Bersyal Merah

Meira dan Gadis Bersyal Merah


Besok adalah hari pertamaku bekerja di Rumah Sakit Merdeka. Karena rumah sakit ini jauh dari tempat kosku sebelumnya, jadi dengan terpaksa aku mencari tempat kos baru yang dekat dengan tempat kerjaku.

"Jadi, mulai kapan pindahnya?" tanya wanita berusia 60 tahun yang berdiri di depanku.

"In syaa Alloh hari ini bu, karena besok saya sudah mulai kerja."

"Baiklah, ini kuncinya. Yang penting disini jaga kebersihan, tidak boleh pulang lebih dari jam 10 malam kecuali ada pemberitahuan dulu dan harus jelas alasannya. Dan satu lagi, tidak boleh membawa pria manapun masuk kecuali orang tua dan wajib bawa ktp. Kalau sampai ketahuan siap-siap angkat kaki dari sini, mengerti?"

"Iya bu."

"Baiklah, saya pergi dulu. Bayarnya nanti setelah sebulan pakai, kalau betah silahkan lanjut kalau tidak betah silahkan pergi dan tidak usah bayar." Ucapnya lagi. Lalu berjalan meninggalkanku sendirian di depan kamar nomor 13 ini.

Aneh, baru kali ini ada kos-kosan pakai uji coba dulu. Tapi lumayanlah bisa hemat uang kos sebulan, tempat ini terbilang bersih dan besar. Ada 20 kamar, 1 dapur, ruang santai sekaligus ruang televisi dan taman kecil di depan. Di antara semua kamar hanya kamar nomor 13 yang kosong, bukankah tempat kamar ini sangat strategis? Tapi kenapa malah kosong? Ah sudahlah, dengan perlahan aku memasukkan kunci dan memutarnya, lalu membuka pintu dengan hati-hati.

"Bismillah, assalamualaikum," ucapku sebelum masuk. Ku biarkan pintu terbuka lebar agar udaranya berganti.

Ada tikar, lemari, kaca besar dan meja kursi belajar di dalamnya. Lumayanlah, ini jauh lebih baik dari kos-kosanku sebelumnya yang hanya ada lemari dan meja kecil saja.

"Baiklah, saatnya bekerja!" Semangatku sambil melipat lengan baju sampai siku.

Aku mulai membersihkan debu yang menutupi seluruh lantai dan barang-barang disini, ini masih jam sepuluh pagi pasti penghuni lain sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

"Hai, penghuni baru?" Sapa seorang gadis cantik yang rambutnya di kucir satu dari ambang pintu. Aku menghentikan aktifitasku dan berjalan mendekatinya.

"Iya, kenalkan namaku Meira," ucapku sambil mengulurkan tangan.

"Aku Jihan. Kamarku ada di pojokan, nomor 15." Ia mengulurkan tangan membalas jabatan tanganku.

"Oh baiklah Jihan, kapan-kapan aku akan mampir ke kamarmu."

"Baiklah, ku tunggu. Btw, bisa kita bertukar nomer ponsel?"

"Tentu saja." Aku segera mengeluarkan ponselku dari saku celana dan mulai bertukar nomer.

"Hmm apa kau yakin ingin tinggal di kamar ini? Maksudku, kamar ini sudah hampir 2 tahun kosong."

"Tidak masalah, aku hanya tinggal membersihkan dan menyulapnya menjadi cantik lagi, agar nyaman ditempati."

"Haha baiklah, sepertinya kau orang baik. Semoga betah ya. Aku harus pergi dulu karena ada kelas setelah ini. Nanti kita ngobrol lagi, oke?

"Baiklah, hati-hati dijalan," ucapku sebelum ia benar-benar menghilang dari pandangan mataku. Aku kembali masuk dan mulai mengepel lantai, ibu kos sangat baik, aku dipinjami semua alat kebersihan secara cuma-cuma.

"Apa kau penghuni baru di sini?" Seorang gadis berkulit putih pucat yang bersandar dipintu dengan tangan terlipat di depan dada.

"Iya, kenalkan namaku Meira," ucapku mengulurkan tangan.

"Aku Jessica. Dulu aku juga tinggal disini tapi kemudian pindah," jawabnya sambil membalas uluran tanganku singkat lalu menariknya lagi dengan cepat.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

"Horor," jawabnya enteng.

"Horor?"

"Iya. Sudahlah, aku pergi dulu. Semoga saat kau membuka mata besok pagi tak ada yang menemani tidurmu."

"Apa maksudnya?"

"Jangan didengarkan." Ada suara di belakangku.

"Astaga! Maaf, aku terkejut melihatmu tiba-tiba muncul." Aku terlonjak kaget saat berbalik ada gadis berambut panjang dan bersyal merah yang melingkar dilehernya berdiri disana. Gadis itu hanya tersenyum manis kemudian berjalan pergi meninggalkanku.

"Hei, tunggu! Siapa namamu? Kita belum berkenalan, namaku Meira," teriakku, tapi gadis itu hanya diam saja dan berjalan lurus ke arah gerbang keluar.

"Ah, mungkin dia sedang tergesa-gesa dan tidak mendengar teriakanku." Aku masuk dan bersiap melanjutkan bersih-bersih lagi.

"Maaf, aku ingin mengambil syal-ku yang tertinggal."

Suara itu berasal dari ambang pintu, aku menoleh dan melihat gadis cantik berambut panjang dan bersyal merah tadi. Bukankah dia tadi sudah keluar gerbang? Jarak gerbang ke kamar ini tidak dekat. Cepat sekali jalannya, apa dia berlari? kalaupun berlari, pasti nafasnya ngos-ngosan dan berkeringat, tapi ini ...

"Permisi, bisakah kau ambilkan sekarang? Aku mengejar waktu." Dia membuyarkan lamunanku.

"Ah iya, maaf. Syal ya? Hmm kira-kira dimana kau menjatuhkannya ?"

"Di belakangmu."

Aku berbalik dan terkejut saat melihat kain merah tergeletak di atas lantai. Sejak kapan kain merah ini ada di sini? Perasaan dari tadi aku disini tidak ada apa-apa.

Ting!

Ada pesan masuk ke ponselku. "Sebentar ya." Aku merogoh saku celanaku dan segera melihat pesan dari siapa ini, siapa tau penting.

"Jihan?"

'Meira, jika nanti ada gadis bersyal merah yang menyapamu tolong jangan ditanggapi.'

'Kenapa?'

'Karena dia dulu yang tinggal di kamar yang kamu tempati sekarang.'

'Lalu?'

'Dia sudah meninggal dua tahun silam, tepat di kamar itu.'

Deg!

Tanpa membalas pesannya, aku menatap gadis bersyal merah yang berdiri tepat di depanku.

"Apa bisa tolong ambilkan syal merahku sekarang?" tanyanya tanpa ekspresi. Aku mengangguk ragu, lalu segera mengambil syal merah itu yang tergeletak di lantai, saat merunduk mataku membulat sempurna saat secara tak sengaja melihat kaki gadis didepan pintu itu tak menempel di lantai.

"Astaghfirulloh!" Aku terjungkal kebelakang, lalu menatap wajah gadis cantik itu yang berubah menjadi pucat dengan lidah menjulur ke luar dan bibirnya membiru, ada garis hitam melingkar di lehernya persis seperti orang yang tercekik karena gantung diri.

"Astaghfirulloh! Siapa kamu!" Teriakku sambil merangkak mundur. Ini tidak nyata, ini tidak nyata, ini tidak nyata. Ucapku dengan mata terpejam, mencoba menguatkan dalam hati. Tiba-tiba aku merasa ada yang memegang pundakku.

"Pergi! Jangan ganggu aku!" teriakku histeris.

"Hei, tenanglah! Kau tidak apa-apa?" Aku segera membuka mata dan kini yang ku lihat bukanlah gadis bersyal merah tadi, melainkan seorang pria. Ada pria di kamar ini? Tidak! aku bisa mati nanti kalau ketahuan ibu kos.

"Siapa kau? Kenapa bisa ada dikamar ini? Cepat keluar atau aku akan dimarahi oleh ibu kos nanti." Aku mendorong pria itu keluar dari kamarku dengan kuat.

"Hei, Berhenti! Apa yang kau lakukan? Aku anak pemilik kos-kosan ini! Aku kesini hanya untuk mengantarkan pesanan ibuku." Ia menunjukkan pewangi ruangan di depan wajahku.

"Anak ibu kos?" tanyaku kaget.

"Iya! Dan berani-beraninya kau mengusirku?"

"Maaf, aku hanya ... tadi ... anu ..."

"Anu apa?" tanyanya sengit.

"Itu ... ada setan maksudku hantu ... eh bukan, ah sudahlah! Jangan ikut campur, pergi sana! Aku sibuk!" Aku segera merebut pewangi ruangan ditangannya dan masuk lagi ke kamar, menutup pintu keras.

"Ya Ampun, dia lebih galak dari ibuku." Aku masih mendengar ocehannya dari balik pintu. Aku melihat sekeliling kamar ini, syal merah yang tergeletak di lantai sudah tidak ada lagi. Apa kamar ini punya cerita mistis? Oleh karena itu kosong selama dua tahun? Dan apa karena itu juga ibu kos memberiku pilihan untuk mencobanya dulu selama sebulan? Aaarrrggghhh! Aku mengusap wajahku kasar.

"Dan aku langsung dapat sambutan di hari pertamaku menempati kamar ini. Oke, kita buktikan siapa yang akan bertahan di kamar ini. Kau atau aku!" ucapku menantang sambil melihat keseluruh kamar ini.

----

Sore harinya semua barangku telah selesai dipindahkan, ah ... melelahkan. Untung ada Jihan yang sudi membantuku.

"Kalau ada apa-apa segera hubungi aku, Oke?" pesannya.

"Memangnya mau ada apa? Santai saja," jawabku menenangkan, aku sengaja tidak menceritakan kejadian tadi siang kepadanya.

"Kau sangat pemberani sepertinya haha."

"Terkadang."

"Baiklah, aku kembali ke kamarku dulu. Nanti malam kita keluar cari makan ya, aku tau warung yang pas untuk species macam kita ini."

"Haha baiklah. Aku mau mandi dulu sekarang."

"Oke, Bye!" pamitnya sambil meninggalkan kamarku.

Aku mengambil peralatan mandi dan mengkalungkan handuk dileher, lalu masuk ke kamar mandi yang ada di bagian tengah bangunan kos ini. Kamar mandi disini terawat, walau tidak terlalu besar tapi sangat bersih. Ah, setelah mandi badanku terasa sangat segar.

Aku berkenalan dan berbasa-basi dengan penghuni kamar lainnya sembari menunggu waktu maghrib, mereka menyuruhku untuk pindah saja dari kamar ini. Aku hanya membalasnya dengan tawa dan gurauan, akan kubuktikan aku bisa mengalahkan mitos tentang kamar nomor 13 yang katanya terkenal angker ini.

Tak lama kemudian, suara adzan maghrib berkumandang. Segera aku berwudhu dan sholat dikamarku.

"Maaf tadi siang mengagetkanmu."

"Astaghfirulloh!" Selesai salam terakhir, aku dikejutkan dengan gadis bersyal merah yang duduk di belakangku. Aku mencoba untuk tidak menanggapinya, berdzikir dan berdoa sekeras mungkin. Kulirik dari ujung mataku, ia masih berada disana. Seharusnya setan takut dengan bacaan al quran, tapi kenapa dia malah anteng di sana.

"Aku tau, kau bisa melihatku." Aku masih diam tidak menanggapinya.

"Apa kau bisa mendengar suaraku?"

"Tidak." Astaga! Aku menutup mulutku rapat. Sial, aku keceplosan.

"Kau sangat lucu, Meira. Bisakah kita berteman?"

"Kumohon pergilah! Kita beda alam, bertemanlah dengan sebangsamu."

"Aku hanya butuh bantuanmu."

"Aku tidak mau membantumu."

"Aku tau kamu orang baik, Meira." Aku terdiam mendengar perkataannya yang seperti menyimpan kesedihan.

"Bantu aku untuk menemukan siapa pembunuhku."

"Jangan bercanda! Kita beda alam, kau setan aku manusia. Ah, aku pasti sekarang hanya bermimpi. Bangun Meira, ayo bangun." Aku menampar-nampar pipiku agar segera tersadar, tapi bukannya sadar malah panas yang kudapat.

"Setelah kau membantuku, aku berjanji akan pergi."

"Kumohon pergilah! Jangan menggangguku, aku hanya ingin bekerja dan tidur dengan tenang disini."

"Pegang janjiku."

"Aku tidak mau percaya pada setan."

"Kalau begitu bantu aku."

"Astaga! Tapi kenapa harus aku?"

"Karena kau orang baik dan hanya kau satu-satunya yang tidak takut saat melihatku dan berbicara dengaku seperti ini." Ah benar juga, kenapa aku tidak takut. Padahal jelas dia setan dan aku bisa melihat setan? Astaga, aku bisa melihat setan?

Brukkk! Tiba-tiba aku merasa lemas dan tubuhku ambruk kelantai, setelahnya aku tak ingat apa-apa lagi.

---

"Meira, bangun. Meira ... " Itu seperti suara Jihan? Aku mengerjapkan mataku, ada banyak orang disini. Kuedarkan pandanganku, kenapa banyak orang yang dikamarku? Seketika mataku terpaku saat melihat gadis bersyal itu berdiri di pojok kamar, ia tersenyum manis kearahku.

"Kau baik-baik saja?" tanya Jihan. Aku mengangguk.

"Apa kau diganggu oleh setan disini? Sudah kubilang ini angker, tapi kau tak mau mendengarkanku," ucap Mila, tetangga kanan kamarku.

"Tidak, aku ... hanya kecapekan saja," balasku pelan.

"Benarkah? Tapi wajahmu sangat pucat sekarang," ucap Jihan.

"Sungguh, aku hanya kecapekan saja. Terima kasih telah mengkhawatirkanku, teman-teman."

"Baiklah, istirahatlah dulu. Akan kubuatkan teh hangat dan makan malam untukmu."

"Tidak perlu, Jihan. Aku sudah lebih baik sekarang, ayo kita makan diluar saja."

"Kau yakin?" Aku mengangguk mantap.

"Baiklah, aku ambil jaket dulu." Jihan dan beberapa temannya pergi keluar dari kamarku. Aku mengambil nafas dalam dan memijit kepalaku pelan. "Aku bisa gila kalau seperti ini terus," gumamku dalam hati.

"Kau tidak akan gila." Aku terlonjak mendengar suara itu.

"Bisakah kau tidak muncul secara tiba-tiba seperti ini!" Gadis bersyal merah itu duduk manis di depanku. Ia tertawa sampai terlihat gigi ginsulnya.

"Kau berbicara dengan siapa?" Jihan yang sudah ada didepan pintu bingung menatapku.

"Ah, tidak. Sedang merutuki diri sendiri saja. Sudah siap? Ayo." Aku segera berdiri, menyambar jaket dan dompet lalu keluar mengunci kamar.

"Apa tempatnya jauh?"

"Tidak, hanya di belakang kos ini. Disana terkenal nasi goreng yang sangat enak dan murah, aku jamin kau akan menyukainya."

"Baiklah."

----

"Bang, nasi goreng dua ya. Meira, kamu pedes nggak?" Aku mengangguk. "Dua, pedes semua bang, minumnya?"

"Es jeruk," jawabku singkat.

"Minumnya es jeruk satu, lemontea panas satu. Ayo duduk disana saja." Aku mengikuti Jihan duduk lesehan dibawah.

"Jangan makan disini." Gadis bersyal itu tiba-tiba duduk di sampingku

"Astaga! Kau lagi, sudah ku ... "

"Ada apa, Meira?" Jihan melihatku kaget. Aku menggeleng cepat.

"Ini, berita gosip di IG membuatku geram." Aku menunjukkan ponsel yang memang sedang membuka akun lambe-lambean.

"Disini banyak makhluk sepertiku untuk membuat warung laris," ucap gadis bersyal merah itu lagi. Aku terdiam, berusaha untuk tidak menanggapinya.

"Kau lihat disana, pria itu mengikat tali putih di penggorengannya. Itu kain kafan yang ia ambil dari kuburan bayi." Deg! Spontan aku mengalihkan pandangan ke arah pria yang ia maksud, Bapak paruh baya yang sepertinya sedang menggoreng nasi pesanan kami.

"Aku tidak percaya," bisikku pelan, berharap Jihan tidak mendengarnya.

"Bagaimana kalau itu." Tangannya terulur menujuk ke arah kerumunan orang yang sedang asyik makan dipojokan belakang.

"Ya ampun!" Aku menutup mulutku saat melihat ada beberapa makhluk terbungkus kain putih dengan air liur menetes di atas piring-piring mereka.

"Ada apa? Wajahmu memucat lagi, Meira."

"Jihan, a ... aku, i ... itu tiba-tiba merasa mual dan pusing, bisakah kita pulang sekarang?"

"Kau serius? Bahkan minuman kita belum datang, Meira."

"Kalau gitu aku akan pulang sendiri saja." Aku segera berdiri dan meninggalkan Jihan. Aku ke kasir membayar pesanan yang bahkan belum ke sentuh sama sekali, meminta maaf dan minta tolong diberikan saja kepada yang mau.

"Meira, tunggu. Aku ikut." Jihan berlari mengekor di belakangku.

"Maaf, Jihan. Aku ... "

"Tidak apa-apa, kita masak mi instan saja di kosan." Aku mengangguk pelan merasa tidak enak, Jihan merangkul bahuku, mencoba menenangkan.

"Temanmu ini orang baik, sama sepertimu. Sayang dia sangat penakut saat melihatku." Gadis bersyal merah itu kini jalan di sampingku. Bukan, bukan jalan. Karena kakinya tidak menempel ditanah.

Bersambung..

Spoiler 2:
"Aku berangkat dulu, Jihan." Pamitku pada Jihan yang sedang berolahraga dihalaman. Ia melambaikan tangan sambil berlari kecil ditempat, pantas saja badannya bagus, ternyata ia rajin berolahraga. Ditambah kulit putih susu dan lesung pipit yang semakin menambah kecantikannya.

Motor matic yang setia menemaniku kini sudah menembus jalan raya yang sudah mulai padat, jarak kos ke rumah sakit hanya lima belas menit. Ku hentikan motor saat lampu lalu lintas itu berwarna merah, entah kenapa rasanya udara hari ini sangat dingin padahal matahari sudah memancarkan sinarnya dengan sempurna. Ku edarkan pandanganku, tempat ini masih terasa asing bagiku. Mungkin saat aku libur nanti harus berjalan-jalan mengelilingi daerah ini.

"Kak, mau beli bunga?" Pandanganku tertuju pada anak perempuan berjilbab putih lusuh disampingku, ia menawarkan bunga mawar.

"Wow, cantik sekali bunganya, harga berapa?" tanyaku, jelas aku tidak butuh, tapi tak apalah hitung-hitung membantu.

"Sepuluh ribu saja, Kak." Senyum mengembang dibibirnya.

"Beli dua ya, pilihkan yang masih segar, Oke?" ucapku sambil merogoh uang di jaket sisa membayar nasi goreng semalam yang tidak jadi ku makan.

"Terima kasih, Kak. Semoga harimu menyenangkan," ucapnya tulus lalu pergi menjauh.

Kuletakkan bunga mawar merah di saku pinggir tas ransel hitam yang ku pakai, segera ku lajukan motor saat lampu lalu lintas itu berubah hijau. Baru beberapa meter, terlihat kerumunan orang di sebrang, sepertinya terjadi kecelakaan. Ah, aku ingin sekali menolong tapi saat kulihat jam tangan sudah menunjukkan pukul tujuh lebih, aku segera melajukan lagi motorku, aku tidak mau terlambat dihari pertama kerja. Aku berdoa semua baik-baik saja.

Lima belas menit kemudian motorku sudah memasuki parkiran rumah sakit, segera ku cari kantor kepala bagian keperawatan dan memberikan berkas kepindahan kerjaku. Setelah di beri beberapa penjelasan dan jadwal kerja, aku langsung ditugaskan di bagian IGD.

"Nanti ketemu Bu Rani ya, beliau kepala bagian IGD," ucapnya terakhir sebelum aku meninggalkan ruangannya.

Ku letakkan tas diloker khusus karyawan IGD dan segera mencari sosok Bu Rani.

"Permisi, Bu. Kenalkan, saya Meira, perawat pindahan dari Rumah Sakit Husada."

"Oh, hai Meira, selamat datang dan selamat bergabung ya. Saya Rani, kepala IGD di sini dan sepertinya kamu akan sangat sibuk hari ini karena ada kecelakaan besar tadi. Kita harus segera ke lGD saja, Oke?" ucapnya sambil berjalan cepat.

"Innalillahi wa inna ilaihirojiun, siap, Bu." balasku seraya mengikuti langkah Bu Rani.

Terlihat banyak perawat berlalu lalang memberi pertolongan kepada korban kecelakaan, aku segera mendekati salah satu perawat yang terlihat kerepotan, aku memperkenalkan diri terlebih dahulu kemudian menawarkan bantuan apa yang bisa ku lakukan.

"Oh, ini sudah selesai, Meira. Tolong kau urus pasien yang disana. Tadi dia terluka sangat parah," ucap perawat yang saat kubaca nametag di dadanya bertuliskan Rosa.

Segera aku berlari ke arah bed yang ditunjuk tadi, terlihat pasien ini sudah ditutup kain putih. Apa dia sudah meninggal ya? Aku mencoba membuka kain putih itu berniat untuk mengeceknya.

"Astaghfirulloh!" kuhempaskan kain itu dengan cepat, wajah itu.. wajah anak kecil yang menawariku bunga mawar tadi.

"Ada apa?" Ada seseorang berdiri di belakangku.

"Tidak, maaf, aku hanya sedikit terkejut," balasku cepat dan segera merapikan kain putih itu untuk menutupi wajahnya.

"Dia sudah meninggal sepuluh menit setelah dibawa ke sini tadi, sekitar setengah tujuh," ucap perawat berjilbab ini sambil menulis laporan kematiannya.

'Setengah tujuh? Tadi, aku berangkat sekitar jam tujuh dan dia masih menawariku bunga di lampu merah,' ucapku dalam hati bingung.

"Hai, Kak. Terima kasih telah membeli bungaku, karenamu, hari ini ibu dan adikku bisa makan." Terdengar suara di sampingku, aku segera menoleh dan melihat anak kecil berjilbab itu berdiri di sana. Aku yang kaget dan bersiap teriak tiba-tiba mengurungkan niatku karena melihat gadis bersyal merah tiba-tiba muncul dibelakangnya. Kututup mulutku cepat.

"Jangan takut, Meira. Dia temanku," ucapnya singkat. Segera kubalikkan tubuhku cepat dan mencoba mencari kesibukan dengan mengurus pasien lain.

"Aku bisa gila kalau seperti ini terus," umpatku lirih sambil memasang infus salah pasien.

"Sudah ku bilang kau tak akan gila, Meira."

"Pergilah, jangan ganggu aku." Segera kuselesaikan tugasku dan berpindah kepasien yang lain.

"Aku dulu juga meninggal disini, Meira. Dua tahun yang lalu.. "

"Aku sedang sibuk, apa kau tak lihat?" balasku kesal, bahkan aku sudah seperti orang gila, bicara bisik-bisik seperti ini. Tak ada jawaban lagi, saat ke menoleh gadis bersyal merah itu sudah tidak ada. Aku mengela nafas lega dan mulai berkonsentrasi lagi pada pekerjaanku.

---

"Jadi, mulai sekarang kamu kerja di sini?" tanya Rosa saat kami sedang istirahat siang.

"Iya, Kak," balasku.

"Panggil Rosa saja, kita seumuran sepertinya," ucapnya sambil menyendokan nasi kemulut.

"Baiklah,"

"Tinggal dimana kamu?"

"Di Kos Permata, dekat dari sini."

"Kosnya Bu Tatik?" tanyanya sedikit kaget, aku mengangguk sambil meminum air putihku.

"Bukankah disana sudah full kamarnya? Kemarin temanku... Tunggu, tunggu, jangan bilang kamu menempati kamar nomor 13, Meira?" kali ini suaranya sedikit ditekan.

"Iya, kenapa?"

"Wow, apa kamu tidak diberitahu anak kos yang lain kalau kamar itu.."

"Sudah, tapi aku tak peduli. Itu hanya mitos dan mereka saja yang berlebihan,"

"Sudah banyak yang mencoba menempati kamar itu tapi tak ada yang betah, sampai akhirnya kamar itu dibiarkan kosong lama," balasnya lagi.

"Apa kau tau apa penyebab kamar itu menjadi misteri, Rosa?"

"Hmm apa kau yakin ingin mendengarnya? Aku tak yakin kamu akan berani tinggal di kamar itu lagi setelah aku menceritakannya, mungkin kamu akan ketakutan setengah mati."

"Santai saja. Aku ini wanita pemberani," ucapku sombong.

"Hmm, Baiklah. Namanya Sagita, dulu aku yang pertama kali menanganinya saat ia masuk IGD. Ia korban pembunuhan tapi belum sepenuhnya meninggal ia ditinggalkan begitu saja dikamar itu, ia ditemukan oleh temannya yang katanya berniat meminjam laptop tapi justru menemukan Sagita dalam keadaan tergantung dikamar itu. Awalnya orang mengira ia bunuh diri, tapi setelah diselidiki ia dibunuh, sepertinya pembunuh itu mencoba memanipulasi agar kejadia terlihat seperti bunuh diri."

"Astaghfirulloh, pembunuhan?"

"Iya, selain ia hampir kehabisan nafas karena cekikan kain merah itu, ternyata ia juga diracun. Tidak ada yang tau sebenarnya motif pembunuhan itu apa, karena Sagita selama hidup terkenal baik dan tidak ada musuh, sampai saat ini kasus itu masih belum terungkap. Konon katanya orang tua Sagita sampai menjual sawah di desa untuk menyewa pengacara agar kasus ini terungkap tapi kamu tau kan hukun jaman sekarang itu tajam kebawah dan tumpul keatas. Kasus itu sama sekali tak ada titik terang karena tak ada saksi dan barang bukti apapun yang mengarah ke seseorang, aneh bukan?"

"Ini sangat tragis dan banyak kejanggalan, apakah perbuatan orang dalam? Karena setahuku peraturan disana sangat ketat," ucapku sambil memasukkan suapan terakhir kemulut.

"Iya, semua orang juga berfikir seperti itu. Sejak saat itu banyak teror dan penampakan Sagita di kos-an itu. Apa kau juga pernah didatanginya?"

"Aku? tidak," jawabku bohong. Lalu pandangku tertuju pada gadis bersyal merah yang ternyata bernama Sagita itu, ia memandangku dari ujung kantin. Aku harus menolongnya atau membiarkannya saja? Ah, ini sungguh berat. Aku dilema.

----

"Jihan, apa kamu tau kasus tentang Sagita?" tanyaku pada Jihan saat kami sedang makan malam diruang tengah.

"Ssstttt, jangan membahasnya disini, Meira. Besok saja kita bahas saat berada diluar kos-an," balasnya sambil meletakkan jari telunjuk didepan mulut.

"Kenapa?"

"Setiap ada orang yang membahas tentang dia disini, pasti nanti akan didatangi Sagita dimimpinya."

"Benarkah?" Jihan membalas dengan anggukan lalu memakan lagi sate ayam yang kubelikan saat pulang kerja tadi, hitung-hitung sebagai ganti kekecewaan karena tidak jadi makan nasi goreng kemarin.

"Itu, karena aku tidak suka dibicarakan dibelakang," Sagita yang kini tiba-tiba duduk disampingku menatap Jihan datar. Entah karena sudah terbiasa, aku tidak terlalu terkejut lagi saat melihat ia muncul dengan tiba-tiba seperti ini.

"Btw, kamu tau nama Sagita darimana? Sepertinya aku belum pernah menceritakan apapun padamu," Jihan menatapku bingung.

"Dari Rosa, dia teman kerjaku, kebetulan dia yang menangani Sagita saat pertama kali masuk IGD," Jihan hanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku kembali menyatap makananku dan sesekali mengobrol dengan Jihan.

"Meira, kau harus segera ke kamar nomor 17 ada yang mencoba bunuh diri disana," ucap Sagita tiba-tiba. Aku menolehnya sekilas, lalu mengernyitkan dahi, kamar nomor 17? itu adalah kamar jessica bukan?

"Segera atau ia akan kehabisan banyak darah nanti," ucapnya lagi. Wajahnya benar-benar serius. Dengan cepat aku berdiri dan berlari ke arah kamar Jessica, entah kenapa aku sedikit percaya pada ucapan Sagita.

"Meira, ada apa? Kau mau kemana?" Teriak Jihan.

"Ikut aku Jihan, Cepat! " Balasku tak kalah keras, beberapa orang yang melihatku berlari mau tak mau mengikutiku juga karena penasaran.

Bug! Bug! Bug!

"Jessica buka pintunya!" Teriakku saat sudah sampai di depan kamarnya. Aku menggedor pintu itu keras. Semua penghuni kamar yang lain ikut keluar dan berkerumun di depan kamar Jessica.

"Ada apa? Kenapa teriak-teriak?" tanya Mila yang tadi mengikutiku. Aku memberi kode 'sebentar' dengan tanganku.

"Jessica! Ku hitung sampai tiga, kalau kamu tidak membuka pintu ini, maka akan ku dobrak!" Masih tak ada jawaban, aku mulai panik.

"Satu...! Dua... ! Tiga... ! Bantu aku mendobrak! Cepat! " Teriakku pada beberapa orang disana termasuk Jihan dan Mila.

Walau terlihat kebingungan diwajah mereka tapi dengan cepat mereka bergerak maju dan mendobrak pintu Jessica dengan sekuat tenaga.

Brakk!!

Dengan dua kali dorongan, pintu ini berhasil terbuka dan.. Astaga!

"Aaa... Jessica!" Teriak Jihan histeris saat melihat Jessica terbujur lemah dengan pisau ditangan kirinya dan pergelangan tangan kanannya bersimbah darah.

"Mila, tolong ambil kotak putih diatas meja dikamarku! Jihan tolong ambil air bersih dan handuk kering! Dan kalian tolong segera panggil ibu kos dan ambulan! Cepat!" teriakku memberi instruksi kepada mereka.

Segera ku raih kain apapun yang ada disekitarku untuk menghentikan pendarahan dan mengikatnya erat kepergelangan Jessica.

"Jessica, kau dengar aku? Jessica.. " ucapku sambil menepuk-nepuk pipinya, denyut nadinya masih berdetak normal berati ia baru saja melakukan percobaan bunuh diri ini.

Aku mengambil pisau ditangan kirinya dengan kain dan membungkusnya rapat, siapa tau nanti dibutuhkan oleh polisi atau siapapun untuk penyelidikan lebih lanjut. Handuk dan air yang dibawa Jihan kugunakan untuk membersihkan darah yang berceceran dan mengganti pengikat luka dipergelangan tangannya, semoga goresan pisau ini tidak sampai mengenai pembuluh venanya.

Lima menit kemudian ambulan datang, mungkin karena jaraknya yang dekat jadi memudahkan penyelamatan ini. Jessica segera di angkut ke dalam mobil dan segera dipasangi infus, saat aku mau ikut tapi ibu kos melarangku. Biar yang lain saja, ia berbicara denganku katanya.

"Terima kasih, Meira. Karena tindakan cepatmu nyawa Jessica tertolong, tadi pihak rumah sakit sudah menghubungi dan sekarang orang tua Jessica sudah ada di sana," ucap Bu Tatik saat aku selesai berganti pakaian yang tadi bersimbah darah dan menemuinya di ruang tengah.

"Iya bu,"

"Tapi.. darimana kamu tau kalau Jessica melakukan percobaan bunuh diri? Tadi saat saya tanya Jihan, katanya kamu sebelumnya sedang makan dengannya dan tiba-tiba berlari begitu saja." Pertanyaannya kali ini langsung membuatku menelan saliva kuat.

"Itu.. saya.. anu bu, hmm.. " aduh, aku haru jawab apa? Masak bilang kalau Sagita yang memberi tau, dikira aku gila nanti.

"Ada apa? Kenapa gugup seperti itu?"

"Maaf bu, saya... "

"Bu, ibu.. ibu dimana?" Terdengar suara pria dari luar.

"Di ruang tengah, Al. Kemarilah," balas Bu Tatik. Aku menghela nafas lega, setidaknya aku tak perlu menjawab pertanyaan ini sekarang.

Terlihat pria berkulit putih dan berpakaian kemeja biru muda muncul di pintu, ia pria yang sama dengan yang kudorong kemarin saat di kamarku, ia duduk di samping Bu Tatik lalu memandangku sekilas.

"Meira, kenalkan ini anak saya, Aldi."

Aku mengangguk pelan sambil menatapnya takut, jangan sampai dia melapor karena telah ku perlakukan tidak sopan kemarin. Dia membalas anggukanku singkat tanpa ekspresi. Yah, walau tanpa ekspresi tapi tidak mengurangi kegantengannya, lama-lama dia mirip Morgan Oey. Astaga, Meira! Bisa-bisanya kamu memuji dia disaat seperti ini, segera ku alihkan pandanganku.

"Ku dengar ada yang mencoba bunuh diri, Bu?" tanyanya.

"Iya, Si Jessica tapi sudah beres. Untung ada Meira yang dengan cepat mengetahuinya dan segera memberi petolongan pertama, ibu sangat bersyukur disini ada seorang perawat seperti dia."

"Perawat? Jadi kau seorang perawat?" tanya Aldi kepadaku. Aku mengangguk pelan.

"Apa selain perawat kau juga seorang paranormal?"

"Maksudmu?"

"Hanya seorang paranormal yang bisa mengetahui kejadian yang bahkan sahabat terdekatnya pun tak tahu kalau Jessica mencoba bunuh diri."

"Jaga mulutmu, Bung! Aku hanya mengikuti firasatku saja dan kebetulan itu benar," balasku cepat sambil berdiri dan menatapnya tajam.

"Santai saja kalau memang perkataanku salah, Nona," balasnya enteng. "Kau justru terlihat mencurigakan kalau bersikap seperti ini."

"Sudah, sudah, kalian ini apa-apaan! Bersikaplah dewasa! Sudah sana Meira kembali ke kamarmu dan kau Aldi cepat pergi kerja, bukankah kamu masuk malam hari ini? Ibu mau istirahat dulu." Bu Tatik beranjak dari kursi dan pergi keluar. Aku pun bersiap pergi ke kamarku tapi terhenti oleh tangan besar milik Aldi yang melintang dihadapanku, bau parfum maskulin langsung menusuk hidungku. Aku beralih menatap mata tajamnya.

"Aku tau kamu bisa melihat 'nya' , Meira," ucapnya lirih.

"Apa maksudmu? Bicaralah yang jelas."

"Sagita, aku tau kamu bisa melihat Sagita bukan?" Aku menelan salivaku kuat-kuat. Mata itu menatapku semakin tajam.

"Jangan bicara hal konyol, minggir! Jangan mengahalangi jalanku!" Aku menurunkan tangannya keras dan berjalan melewatinya.

"Karena kalung yang melingkar dilehermu itu adalah pemberianku untuknya dan hanya ada satu di negara ini." Langkahku terhenti saat mendengar ucapannya, segera tanganku beralih ke leher, ada kalung berliontin batu safir merah. Tapi sejak kapan kalung ini melingkar dileherku? Karena aku paling tidak suka memakai aksesoris selama hidupku. Lalu mataku tertuju pada Sagita yang bediri di depan pintu, ia menatap Aldi tajam, tanganya mengepal sempurna.

Ada apa sebenarnya di antara mereka? Apa Aldi ada hubungannya dengan kematian Sagita? Ah, ini semakin rumit jika memang Aldi ada sangkut pautnya dengan kematian Sagita. Aku segera berjalan cepat meninggalkan ruang tengah dan memasuki kamarku lalu menguncinya rapat-rapat. Aku menjatuhkan badan di atas kasur dengan posisi telungkup.

"Besok, jangan membawa motor dan jangan ijinkan siapapun membawa motormu, Oke?" Suara Sagita terdengar ditelingaku, aku yang sudah memejamkam mata bersiap untuk tidur hanya membalas perkataannya dengan mengacungkan jempol.

"Karena besok akan ada kecelakaan yang mungkin akan menewaskan siapapun yang mengendarai motormu," ucapnya lagi yang masih samar-samar kudengar.

---

"Meira, aku pinjam motormu sebentar ya. Mau ke fotocopy belakang kosan," teriak seseorang diluar.

"Iyaa!" Aku membalas teriakannya dari dalam kamar mandi, lalu melanjutkan mandi lagi. Deg! tiba-tiba aku teringat pesan Sagita semalam.

Sial! Aku segera mempercepat mandiku dan memakai baju tanpa handukan terlebih dahulu. Aku berlari ke arah halaman dimana biasa memakirkan motor, sudah tidak ada?? Aku segera berlari keluar kosan namun seketika terhenti saat mendengar suara rem mobil berdecit begitu nyaring seperti dipaksa berhenti oleh pengemudinya, lalu setelahnya terdengar suara benturan keras. Braakk!

"Ada kecelakaan!!" Teriak orang-orang di jalan sambil berlarian.

"Meira, tadi Jihan titip pesan katanya dia pinjam motormu sebentar untuk ke fotocopy belakang kos-an." Mila menepuk pundakku pelan. "Suara apa itu? Sepertinya ada kecelakaan, ayo kita lihat," ucapnya sambil berlari keluar.

"Ji.. jihan.. " ucapku lirih yang seketika lemas, terduduk di tanah.

"Kali ini kamu gagal menyelamatkan temanmu, huh?" Terdengar suara di belakangku, segera aku menoleh dan dibuat terkejut olehnya yang sedang memegang sebuah kabel dan gunting.

"Aldi, kamu... "

Bersambung!

Spoiler 3:
"Kali ini kamu gagal menyelamatkan temanmu, huh?" Terdengar suara di belakangku, segera aku menoleh dan dibuat terkejut olehnya yang sedang memegang sebuah kabel dan gunting.

"Aldi, kamu ... "

Brak!

Dia melempar gunting dan kabel itu di depanku, senyum menyeringai menghiasi bibirnya. Tangan putih itu merogoh sesuatu di balik badannya lalu sekantong cairan berwarna merah tergenggam di tangannya.

"Kau tau, Meira. Ini minuman kesukaanku," ucapnya sambil menyobek ujung plastik itu, dia menghisap cairan merah kental itu dengan nikmat.

"Kau menjijikan, bagaimana bisa kau melakukan hal seperti ini? Apa kau mencoba membunuhku?"

"Awalnya begitu, tapi sepertinya Sagita selalu melindungimu, jadi mungkin satu persatu aku akan menyingkirkan teman-temanmu dulu," balasnya sambil mengelap sisa cairan merah itu di mulutnya. "Kau mau? Ini sangat lezat." Ia berjongkok dan mendekatkan cairan itu ke arah mulutku.

"Jauhkan itu dariku!" Tapi bukannya menyingkir, ia justru mencengkram tanganku erat dan memaksaku meminumnya. Cairan itu berceceran mengenai mulut dan bajuku dan seketika bau anyir menusuk hidung.

"Jangan! Kau gila, Al. Pergi! Pergi ...!" teriakku histeris lalu terbangun dari tidur, aku mengucek mata cepat dan melihat sekeliling, aku berada di kamarku. Meraba mulut dan baju yang kering tak ada noda cairan merah itu, napasku masih tersenggal-senggal. Kuraih botol minum di samping tempat tidur dan meminumnya beberapa teguk lalu meletakkannya lagi, jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi, Mimpi ini sungguh menyeramkan, seketika aku merasa takut dengan Aldi. Hiii, benarkah dia psikopat berdarah dingin?

----

Setelah mimpi itu mataku tak bisa terpejam lagi, kuhabiskan waktu untuk membaca buku sampai masuk subuh. Setelah sholat, aku memutuskan berjalan-jalan disekitar kos-an sambil mencari sesuatu untuk sarapan, tadinya mau mengajak Jihan tapi dia sedang banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan pagi ini juga.

Saat tiba di kosan usai berjalan-jalan, kulihat Aldi baru saja turun dari mobilnya dengan membawa sesuatu ditangan, sesuatu yang mengkilap seperti ... Gunting? Jangan-jangan dia mau menggunting kabel remku seperti yang ada dimimpi. Dengan cepat aku berlari mendekati halaman parkiran motor, sengaja bersembunyi disekitar situ, lama menunggu tapi tak juga ada tanda-tanda mencurigakan dari Aldi. Ia yang tadi turun dari mobil dan masuk rumah tak lagi keluar sampai sekarang. Karena takut terlambat kerja akhirnya aku beranjak dari tempat persembunyian dan bergegas mandi.

"Meira, aku pinjam motormu sebentar ya. Mau ke fotocopy belakang kosan," teriak seseorang diluar.

Deg! Suara itu ...

"Jangan, Jihan! Jihan? Kau masih disana?" Tak ada jawaban. Aku segera memakai pakaianku lagi, kuurungkan niatku untuk mandi. Dengan cepat berlari ke arah parkiran dan melihat sosok Jihan baru saja keluar dari gerbang mengendarai motor matic hitam milikku.

"Jihan! Berhenti!" teriakku keras, tapi sepertinya ia tidak dengar, aku berlari semakin kencang mengejarnya. Sudah lama tidak olahraga dan berlari seperti ini sangat menguras tenaga tapi aku tak peduli, yang penting menyelamatkan Jihan.

"Jihan! Jihan! Berhenti!" teriakku lagi. Kali ini Jihan mendengarku, ia mengidupkan lampu sen lalu merapat minggir. Ia turun dari motor dan melihatku bingung yang mungkin terlihat gila berlari-lari menggunakan piyama tidur tanpa alas kaki.

"Hah, hah, hah, hah ... " Aku mengatur nafasku setelah sampai di depannya. Dadaku sesak sekali, kutepuk-tepuk pelan sambil menarik nafas dalam dan cepat.

"Kamu ini kenapa? Akukan sudah bilang tadi mau pinjam motormu," Jihan menepuk punggungku pelan, terlihat wajahnya kebingungan melihatku.

"Tu ... tunggu, biar ... kan ak ... aku ber ... nafas du ... lu," ucapku terputus-putus, ia hanya mengangkat kedua bahunya sambil sesekali menepuk lembut punggungku.

"Mau aku belikan minum?" tawarnya, aku menggeleng cepat.

Setelah nafasku kembali normal, aku mulai berbicara padanya "Dengar Jihan, aku ... "

Brakkk!

Sebuah benturan keras terdengar keras dan sesuatu yang buruk terjadi tepat di depan mata kami, sebuah mini bus menabrak warung foto copyan, tempat yang akan Jihan datangi. Aku menutup mulutku rapat-rapat, terlihat banyak darah berceceran di sana dan mungkin jika aku tak mencegah Jihan, bisa jadi ia salah satu korban di sana. Kulihat Jihan juga sama kagetnya denganku, wajahnya yang biasanya berwarna putih merah jambu kini menjadi pucat pasi.

"Ada kecelakaan!!" Teriak orang-orang yang mulai berlari menolong, aku dan Jihan bak patung, tak bisa bergerak atau lebih tepatnya terlalu syock sampai sulit bergerak, karena jelas hanya tinggal menyebrang saja Jihan sudah sampai di warung foto copyan itu.

"Meira, Jihan, apa yang kalian lakukan disini?" Suara cempreng Mila terdengar dari belakangku, baju dan kuciran rambutnya sama persis dengan yang ada dimimpiku. Aku memutar memori mimpiku semalam, kulihat baju yang dipakai Jihan ternyata juga sama, lalu bagaimana dengan Aldi? Aku harus menemuinya.

"Mila, tolong bawa Jihan dan motorku kembali ke Kosan ya, aku ada urusan sebentar," teriakku sambil berlari meninggalkan mereka.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi, Bu Tatik!" Kuketuk cepat pintu itu saat sampai di rumah Bu Tatik yang berada di sebelah Kos-an yang kutempati ini. Aku berjalan mondar mandir menunggu pintu dibuka. Aduh, kenapa lama sekali bukanya?

"Ada apa?" Terlihat Aldi yang membuka pintu, ia sedang membawa sesuatu di balik pintu itu. Saking penasaran, dengan cepat aku meraih tangannya dan ingin melihat apa yang ia bawa.

Kabel dan gunting? Lalu aku menatap matanya tajam.

"Apa-apaan kamu ini!" Sentakknya sambil menghempaskan tanganku.

"Untuk apa kabel dan gunting itu? Apa yang kamu rencanakan sebenarnya, Aldi?" tanyaku penuh selidik. Ia mengeryitkan dahinya, menatapku heran lalu dengan cepat meletakkan telapak tanganya di dahiku.

"Apa kamu sakit? Sampai bicara ngaco seperti ini?" ucapnya kemudian. "Sudah minum obatmu?"

"Jawab!" sengitku sambil menyingkirkan tangannya dari dahiku.

"Siapa, Al? " Suara Bu Tatik terdengar dari dalam rumah.

"Orang gila, Bu." Sial! Dia menyebutku orang gila.

"Orang gila gimana? Eh, Meira ... ada apa?" Bu Tatik muncul di balik pintu, ia menatapku heran mungkin karena pakaian yang berantakan dan kakiku yang tak memakai sandal.

"Meira, ada apa?" tanya beliau lagi, tapi aku justru menatap Aldi tajam, mungkin Bu Tatik menyadari tatapanku ini, "Al, sudah sana masuk, selesaikan dulu motor ibu yang kamu benahi tadi, sebentar lagi mau ibu pakai," ucap Bu Tatik sambil mendorong Aldi masuk ke dalam.

Motor Bu Tatik? Jadi ... mimpi itu? Ah, aku sungguh sangat bingung dan malu! Aku benar-benar seperti orang gila sekarang.

"Anu bu, itu ... cuma ... anu ... mau bilang kalau ada kecelakaan dibelakang Kos-an," ucapku asal.

"Iya, saya sudah tau, terdengar sampai sini tadi, lalu? "

"Oh, sudah tau ya? Hmm ... ya sudah kalau begitu, saya cuma memberitahu saja mungkin nanti ibu kalau mau pergi jangan lewat sana karena untuk sementara jalannya ditutup, Bu."

"Oh gitu, baiklah. Terima kasih atas informasinya ya," ucapnya lembut. Aku mengangguk lalu berpamitan dan segera masuk ke kamar dan menguncinya rapat. Kusandarkan punggung di balik pintu, lama-lama tubuhku lemas dan terduduk di situ, kupeluk kakiku erat lalu menopang dagu menggunakan dengkul.

"Meira ... " Aku menoleh sekilas, terlihat Sagita duduk disampingku, ia ikut menyandarkan punggungnya di pintu ini.

"Kenapa hidupku jadi kacau seperti ini?" gumamku pelan.

"Bukan kacau, hanya kau saja yang belum mampu mengolah dan menganalisa semua fisarat-firasat yang datang menghampirimu."

"Bisakah aku hidup tenang seperti dulu?"

"Percayalah padaku, Meira. Akan banyak nyawa yang akan tertolong dengan semua firasat yang datang padamu, termasuk aku.. "

"Kau tau? Lama-lama aku bisa gila." Aku kembali menopang daguku dan menatap lurus kedepan.

"Gila itu penyakit yang bisa disembuhkan, beda dengan nyawa.. " ucapan Sagita selalu mengandung kesedihan. Aku menghela nafasku panjang, ini baru awalan bukan? masih ada hari-hari esok yang mungkin bakal lebih gila dari ini.

---

"Bagaimana kabarmu, Jessica?" Aku mendapat jadwal observasi pasien di bangsal lima yang kebetulan Jessica dirawat di sini setelah kejadian semalam. Ia hanya tersenyum tipis tanpa menjawab pertanyaanku, pergelangan tangan kanannya terbalut perban dan tangan kirinya terpasang jarum infus.

"Lain kali, kalau ingin melakukan hal bodoh ini lagi, pikirkanlah dua orang yang sangat mencintaimu di luar sana," ucapku sambil mengecek tekanan darah Jessica. Tadi sebelum masuk ke bangsal ini aku sempat mengobrol dengan orang tua Jessica, mereka terlihat sangat terpukul dan syock melihat putrinya melakukan percobaan bunuh diri ini.

"Terima kasih telah menolongku," ucapnya pelan tanpa menatapku. Aku tersenyum sambil memegang pundaknya pelan.

"Jangan merugikan dirimu sendiri dengan melakukan hal-hal bodoh seperti semalam misalnya. Selain merugikanmu, pikirkan juga perasaan mereka yang mencintaimu dengan tulus di luar sana. Setiap masalah itu ada solusinya, dan setiap solusi itu pasti ada campur tangan Tuhan disana. Dekatkanlah diri kepada Tuhanmu Jessica, maka hidupmu akan tenang." Ia masih tak menatapku tapi ku lihat matanya mulai berkaca.

"Baiklah, aku pergi dulu. Masih banyak pasien yang harus aku data, nanti kita mengobrol lagi, Oke?" pamitku yang hanya dijawab anggukan pelan dan lagi-lagi ia tak mau melihatku. Terlihat air mata mulai menetes dari mata sipitnya.

----

Siang ini suasana hatiku sedang tidak baik, sejak kejadian pagi tadi Jihan tiba-tiba demam tinggi dan terpaksa tidak masuk kuliah. Mungkin dia terlalu syock atau apalah nanti akan coba ku tanyakan saat pulang kerja.

"Meira! Meira!" Suara Rosa membuyarkan lamunanku, aku menatapnya sekilas lalu meneruskan menyalin data pasien yang aku observasi tadi.

"Apa sedang ada masalah? Kau banyak melamun hari ini,"

"Iya.., sedikit," jawabku asal.

"Ayo kita makan siang, setelah ini kita observasi bersama dokter Al.. "

"Rosa! Meira! Cepat ke IGD sekarang!" Bu Rani berlari tergopoh-gopoh menuju IGD, tanpa menunggu perintah dua kali, aku dan Rosa segera mengikuti beliau dari belakang.

Astaghfirulloh! Ada wanita hamil besar dengan pisau tertancap di dadanya. Aku yang tadinya semangat tiba-tiba menjadi lemas, ada banyak darah keluar dari punggung dan dari pangkal pahanya. Ternyata ia juga pendarahan!

"Lakukan observasi! Cek tekanan darah! Pasang infus! Cek kondisi janin! " Teriak Bu Rani lantang. Dengan cepat, aku, Rosa dan beberapa perawat lainnya melakukan perintah Bu Rani. Sedangkan samar-samar aku dengar suara pria menangis dari balik tirai.

"Kerabat Bu Santi!" Terdengar teriakan Bu Rani dari luar, "Mari ikut saya, Pak." Tangisan pria tadi terdengar kian menjauh dari pendengaranku.

"Segera bawa pasien ke ruang operasi!" Teriak Bu Rani setelah beberapa menit kemudian, hatiku tersayat saat mendengar rintihan wanita itu berkali-kali menanyakan keadaan bayinya, Rosa menjelaskan semua dalam keadaan baik dan akan segera dilakukan operasi. Ia mencoba menenangkan hati wanita ini.

"Jangan biarkan laki-laki itu menyentuh bayiku," ucap wanita itu sangat lemah, tangan yang berlumuran darah itu sekilas menggenggam tanganku saat bed yang ia tiduri, ku dorong memasuki ruang operasi.

---

"Laki-laki yang mana yang dia maksud?" gumamku bingung saat mencuci tangan di wastafel IGD.

"Laki-laki yang menangis tadi," suara Sagita terdengar di telingaku.

"Kenapa?"

"Temui laki-laki itu dan perhatikan dengan saksama," aku kemudian berjalan menyusuri lorong menuju ruang operasi, lampu merah masih menyala artinya operasi itu masih berlangsung, tapi di mana laki-laki yang menangis tadi. Aku berjalan perlahan sambil mengedarkan pandanganku mencari sosok pria tinggi kurus berjaket denim itu.

"Iya, Bos. Setelah ini aku akan membawanya ke sana, siapkan saja uang kesepakatan kita." Terdengar sayup-sayup suara dari arah selatan, aku perlahan mendekatinya dan menajamkan pendengaranku.

"Aku sedang di rumah sakit sekarang, istriku sedang melahirkan harta karunmu."

Harta karun?

"Segera kirim uangmu untuk biaya operasinya atau harta karunmu tidak akan aku kirim hari ini!" ucapnya setengah mengancam.

Apa maksudnya?

"Suster.. ," laki-laki itu terkejut melihatku berdiri dibelakangnya. Ia segera mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket.

"A.. ada apa ya?" suaranya terdengar gugup.

"Tidak ada apa-apa, Pak. Kebetulan saya lewat sini saja dan mendengar suara Bapak. Apa, bapak suaminya Bu Santi?" tanyaku basa basi.

"Iya, Sus. Sungguh malang nasib istri saya, sedang hamil tua dan diserang oleh sekelompok pencuri yang masuk ke rumah kami. Saat saya pulang kerja, saya sangat kaget menemukan dia sudah terbaring lemah bersimpah darah dengan pisau menancap di dadanya," ucapnya sedih. Sedih? Benarkah ia sedih? Tapi sorot matanya tidak menunjukkan gurat kesedihan sama sekali.

"Oh, saya turut bersedih, Pak. Semoga semua baik-baik saja dan anak Bapak lahir dengan selamat. Menjadi anak yang baik,berguna bagi agama maupun orang sekitar dan mampu membahagiakan orang tuanya kelak."

Ia sedikit kaget mendengar aku mendoakan anaknya, bukankah wajar mendoakan seperti itu? Kenapa ia malah terlihat gugup?

"Tangan Bapak sepertinya terluka? Mau saya obati?" tawarku saat melihat goresan panjang di telapak tangannya yang mirip seperti tergores benda tajam, pisau mungkin? Tunggu, pisau? Mungkinkah ia..

"Tidak, terima kasih. Saya pergi dulu, mau urus administrasi istri saya," ucapnya sambil berjalan cepat meninggalkanku.

"Bagaimana?" Sagita menatapku sambil memainkan alisnya.

"Dia.. pelakunya?" tanyaku ragu. Ia mengangguk.

"Tapi.. untuk apa?"

"Harta karun di perut istrinya berharga dua ratus juta rupiah." Aku menatap Sagita kaget dan langsung mengerti apa yang ia maksud.

----

"Meira, bisa aku minta tolong?" Aku yang sudah bersiap akan pulang terhenti saat melihat Sofia dengan muka cemas duduk cepat disampingku.

"Ada apa?"

"Tolong gantikan jaga malamku hari ini, ayahku masuk rumah sakit dan aku harus segera pergi ke desa. Hanya kamu yang bisa ku andalkan sekarang, aku mohon Meira."

Sebenarnya aku sangat lelah, sudah bekerja dari pagi dan kini harus jaga malam? Lagipula aku juga sudah berjanji pada Jihan akan mampir ke kamarnya setelah pulang kerja. Tapi wajah cemas Sofia sungguh membuatku dilema.

"Bagaimana kalau mulai jam tujuh malam saja? Aku ada janji dengan temanku sebentar, setelah itu aku akan kembali lagi kesini untuk menggantikan posisimu," tawarku.

"Baiklah, terima kasih Meira. Aku mau absen dulu sekarang."

---

"Bagaimana keadaanmu?" aku duduk disamping Jihan, sambil membuka bungkusan bakso yang aku beli di perjalanan pulang tadi.

"Sudah mendingan," jawabnya lemah.

"Sudah minum obatmu?" Ia mengangguk, "Duduklah, aku akan menyuapimu bakso lezat ini." Aku membantunya duduk dan meletakkan bantal dibelakangnya untuk bersandar.

"Lupakan kejadian tadi, Jihan. Bukankah semua sudah di atur oleh Alloh?"

"Aku hanya sangat terkejut tadi, bagaimana kalau kamu tidak datang dan aku... "

"Sudah, sudah, bukahkah sudah ku bilang lupakan kejadian tadi pagi. Cari kegiatan yang positif untuk mengalihkan pikiranmu."

"Akan ku coba," jawabnya dengan mulut penuh dengan bakso.

"Malam ini aku harus menggantikan temanku jaga malam jadi mungkin akan pulang besok subuh. Dan kebetulan besok jadwalku libur jadi mungkin kita bisa berjalan-jalan mencuci otak, bagaimana?"

"Benarkah? Itu ide yang sangat bagus, aku pasti akan sembuh besok subuh!"

"Haha kau yakin sekali, Nona. Makanlah yang banyak dan istirahat yang cukup maka kamu akan segera sembuh."

---

"Kau yang menggantikan Sofia?" tanya Bu Rani saat melihatku di IGD malam-malam begini.

"Iya bu,"

"Aku pikir Rosa yang akan menggantikannya, tapi.. tak apalah nanti ada Cici dan Nonik yang akan berjaga juga malam ini,"

"Rosa ada acara keluarga bu, jadi tidak bisa. Dan kebetulan besok jatah saya libur jadi tidak apa saya yang menggantikan Sofia saja,"

"Oh gitu, baiklah. Selamat bekerja, saya mau pulang duluan, nanti kalau ada apa-apa hubungi Nonik saja."

"Baik, Bu."

Hari ini di IGD tidak banyak pasien masuk, hanya beberapa dan itu segera tertangani dengan cepat sehingga ada sedikit waktu untukku meminum kopi, tiba-tiba aku teringat dengan Bu Santi. Setelah aku meminta ijin kepada Mbak Nonik untuk mengecek kondisi Bu Santi segera saja aku menuju bangsal dimana ia dirawat.

Ku lirik jam tanganku menunjukkan pukul sepuluh, malam ini dimana pertama kali aku berjaga di Rumah Sakit Merdeka, bangunan yang sudah terbilang tua menambah kesan tersendiri saat berjalan di lorong-lorong sepi ini. Tidak banyak aktifitas yang terjadi di malam hari, karena jam besuk sudah di tutup dari jam delapan malam tadi sehingga membuat rumah sakit ini terasa lenggang dan sedikit menyeramkan.

"Larilah, Meira! Ia kehabisan nafas sekarang!" Suara Sagita mengagetkanku.

"Siapa? Bu Santi?" tanyaku sambil sedikit berlari, mungkin berada di ruangan VIP membuat leluasa laki-laki itu melancarkan aksi bejatnya. Sagita mengangguk lalu pergi entah kemana.

Aku berlari semakin kencang, langkah sepatuku terdengar begitu nyaring ditengah sepinya malam ini.

Brukk!

Badanku terpental kebelakang saat akan membelok ke gang menuju lorong kamar Bu Santi, aduh! pantatku! Aku segera bangun dan memegang pantatku yang terasa nyeri, seseorang juga terjatuh di depanku.

"Maaf, saya tidak sengaja.. Aldi?"

"Ya Tuhan, Meira. Kau pikir ini lapangan bola yang bisa dengan bebas berlarian, Hah?" Ia terlihat berbeda dengan jas putih yang ia kenakan dan stetoskop yang melingkar di lehernya. Dia seorang dokter?

"Maaf, aku tidak sengaja. Aku sedang.. Ya Ampun! Bu Santi!" Aku segera berlari melewati Aldi dan tak menghiraukannya walau ia terus-terusan memanggilku. Mataku dengan teliti mencari kamar VIP 4, ini dia! Ku raih gagang pintu dan kucoba membukanya, sial! Sepertinya sengaja dikunci dari dalam.

"Bu Santi! Tolong buka pintunya, saya akan melakukan observasi!" Teriakku berbohong.

Prang!

Terdengar suara seperti pecahan kaca, aku makin panik dibuatnya. Aku mencoba paksa membuka pintu ini tapi sepertinya sia-sia.

"Ada apa?" Aldi sudah berdiri dibelakangku, aku segera meraih tanganya dan mengarahkan kegagang pintu.

"Tolong buka segera, Al. Cepat! Nyawa Bu Santi dalam bahaya!"

"Apa maksudmu?"

"Akan ku jelaskan nanti, yang penting tolong aku buka pintu ini."

"Permisi! Bu Santi apa anda bisa mendengar saya? Tolong buka pintu ini atau akan saya buka paksa sekarang."

Prang!

Suara itu terdengar lagi, mata kami beradu dan dengan cepat Aldi mendobrak pintu itu. Dengan dua kali sentak pintu berhasil terbuka.

"Apa yang anda lakukan!" Teriak Aldi keras. Aku yang masih dibelakangnya seketika menerobos masuk dan melihat laki-laki yang mengaku sebagai suaminya tadi sedang berada di atas tubuh Bu santi dan menutupi wajahnya dengan bantal, kaki Bu Santi terlihat menendang-nendang, tangannya berayun kesegala arah mencari sesuatu untuk di pegang dan mungkin ini yang menyebabkan gelas dan vas bunga pecah berantakan di bawah.

Bug!

Aldi dengan kuat melayangkan tanganya ke arah laki-laki itu, seketika tubuhnya terpental jatuh ke bawah, Aldi akan menindihnya tapi malang pria itu berhasil melayangkan bogemannya ke wajah Aldi dan tepat mengenai bibirnya. Ada darah kental yang keluar dari sana.

Aku yang sedikit takut melihat perkelahian mereka segera mendekati Bu Santi, menyingkirkan bantal yang menutupi wajahnya lalu segera memasang selang oksigen untuk membantu pernafasan beliau. Air mata sudah membanjiri wajahnya, dengan lemas ia mencoba mengambil nafas secara teratur.

Aku segera menelfon dibagian keamanan dan memberitahu tentang kejadian di sini.

"Bu.. Bu Santi baik-baik saja?" tanyaku saat ia mulai bernafas dengan normal. Ia mengangguk lemah, air matanya masih keluar tanpa henti.

Beberapa menit kemudian petugas keamanan datang ke kamar ini, mereka melerai perkelahian antara Aldi dan suami Bu Santi.

"Bawa dia ke kantor polisi, aku akan mengurusnya besok!" Ucap Aldi sambil mengelap darah yang keluar dari ujung bibirnya.

---

Setelah kondisi sudah aman, Bu Santi dipindahkan ke kamar lain yang lebih aman dengan pengawasan lebih intens. Ternyata ia adalah anak seorang pejabat penting di kota ini yang kawin lari dengan laki-laki tadi, suaminya masuk DPO polisi yang terlibat dalam jual beli organ manusia. Dan kali ini, anaknya yang akan dia jual! Bu Santi selalu menghalangi aksinya sampai akhirnya laki-laki itu berusaha membunuh Bu Santi agar bisa dengan mulus membawa anaknya pergi, Ngeri bukan? Ah! entahlah, semakin hari semakin gila saja masalah yang aku alami termasuk laki-laki yang ada di depanku ini.

"Pelan-pelan, Meira! Bagaimana bisa kau lulus jadi perawat kalau cara mengobatimu saja seperti ini," ucap Aldi untuk kesekian kalinya saat luka di wajahnya aku oles salep.

"Obati saja sendiri!" Aku melempar salep ke arahnya dengan kesal, lalu berdiri dan meninggalkannya.

---

"Minumlah." Segelas kopi hadir di hadapanku. Ada kata 'maaf' dan emoticon senyum di bawahnya.

"Ada racunya tidak?"tanyaku sambil mengendus-endus aroma kopi yang sepertinya enak ini.

"Ya Ampun, berfikirlah positif sekali-kali tentangku," balas Aldi sambil duduk di sampingku. Aku tertawa lalu segera meminum kopi itu pelan.

"Ah.. enak sekali, terima kasih. Aku suka kopi seperti ini, yang.. "

"Kental dan sedikit gula," ucapan Aldi mampu membuatku mengernyitkan alis. Bagaimana dia bisa tau?

"Sagita suka kopi seperti itu, bahkan senyumanmu sama dengan senyuman Sagita," ucapnya lagi, matanya menunduk memandang gelas kopi yang ada ditangannya.

"Jujurlah padaku, Meira. Apa Sagita ada di sekitarku sekarang?" Mata sendu itu menatapku tajam, aku yang semula menatapnya beralih ke sepasang mata yang ada di belakang Aldi. Ada mata Sagita yang berkaca-kaca, kepalanya mengangguk seakan mengijinkanku mengatakan segalanya.

"Iya," jawabku pelan. Tak ada balasan lagi dari Aldi, ia kembali menatap gelas yang ada ditangannya.

"Sebenarnya.. apa hubunganmu dengan Sagita, Al?"tanyaku ragu.

"Dia..., calon istriku,"

"Hah?" Aku menatap Aldi dan Sagita bergantian, aura sedih benar-benar tergambarkan diwajah mereka berdua.

"Kami akan menikah dua bulan setelah aku melamarnya, tapi harapan itu kandas karena dia.... "

"Bunuh diri," lanjutnya lagi.

"Dia tidak bunuh diri, Al! Dia dibunuh!" Tiba-tiba aku menjadi emosi saat mendengar Aldi mengatakan kalau Sagita mati bunuh diri.

"Apa maksudmu? Jelas-jelas ia bunuh diri, mungkin ia malu karena sedang hamil saat itu, padahal aku tidak pernah melakukan apapun padanya, aku selalu menjaga dan melindungi selama menjalin hubungan dengannya tapi ia justru .... "

"Hamil?" Kali ini aku menatap Sagita dalam-dalam, kepalanya masih menunduk. Kenapa dia tidak pernah menceritakan kalau dia hamil dulu. Tapi.. bukankah selama ini aku yang tidak pernah mau mendengar ceritanya? Dan Rosa.. dia juga tidak cerita apa-apa kalau Sagita ternyata hamil.

"Apa kau yakin kalau dia hamil?" tanyaku menyelidik. Aldi mengangguk tetapi Sagita menggeleng cepat.

"Tanyakan padanya, Meira. Siapa yang telah menghamilinya?" tanya Aldi sambil memandangku tajam.

"Jangan pernah tanyakan itu padaku!!" Suara Sagita terdengar begitu marah hingga akhirnya ia menubrukku keras. Kepalaku berat, pandanganku samar-samar lalu lambat laun menjadi gelap.

Spoiler 4:
"Tanyakan padanya, Meira. Siapa yang telah menghamilinya?" tanya Aldi sambil memandangku tajam.

"Jangan pernah tanyakan itu padaku!!" Suara Sagita terdengar begitu marah hingga akhirnya ia menubrukku keras. Kepala ini terasa berat, pandanganku samar-samar lalu lambat laun menjadi gelap.

Sayup-sayup aku mendengar seseorang menangis pilu, kucoba membuka mata walau terasa sangat berat, kusandarkan tubuhku di dinding belakangku. Di mana ini? Aku baru sadar kalau ini bukanlah lorong rumah sakit tadi, di mana Aldi?

"Al ... Aldi ... Kau di mana?" teriakku, tak ada balasan, hanya suara tangisan itu yang terdengar. Aku berdiri mencoba mencari sumber suara itu, penerangan di sini sangat kurang sehingga membuatku harus berhati-hati saat berjalan.

"Siapa yang menangis di sana?" teriakku lagi, senyap, tak ada jawaban apapun lalu tangisan itu lambat laun menghilang. Kuusap lengan dan leherku yang tiba-tiba merinding, kuedarkan pandanganku kesekeliling, tempat ini tak asing bagiku, tapi di mana ya? Aku terus melangkah mengikuti feelingku saja.

"Bagaimana? Apa dia sudah mati?" Terdengar suara bisik-bisik dari balik dinding. Kudekatkan telingaku mencoba mendengar lebih jelas lagi.

"Sudah, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" Ada suara balasan yang tak kalah berbisiknya.

"Tenang saja, bawa tali ini."

"Untuk apa?"

"Kita akan buat dia seolah meninggal karena gantung diri."

"Kau yakin?"

"Tentu saja, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Ayo cepat, sebelum yang lain bangun."

Aku terdiam sesaat, mencoba mencerna percakapan mereka. Langkah mereka terdengar semakin menjauh, kuberanikan mengintip dan benar saja mereka sudah tak ada lagi dibalik dinding ini. Aku berjalan lagi menyusuri tempat ini, langkahku terdengar sangat jelas karena sepinya lokasi ini.

Srekk! Srekk! Srekk!

Terdengar seperti benda berat yang diseret paksa, aku terdiam dibawah gelapnya malam, mau berlari sembunyi tak mungkin karena suara seretan itu terdengar sangat dekat. Aku takut mereka melihat dan melukaiku, karena perasaanku mengatakan mereka bukan orang baik-baik.

Terlihat dua orang berpakaian serba hitam sedang menyeret benda besar itu dengan sangat pelan-pelan. Aku menajamkan penglihatanku, itu ... bukan benda biasa, itu seperti ... manusia? tapi tak bergerak sama sekali walau ia diseret seperti itu, dia masih hidup atau sudah mati? Pikiranku berkecambuk, mereka menyeretnya lagi sampai masuk ke sebuah ruangan lalu menutupnya.

Aku segera berlari, mendekati ruangan itu dan berdiri di samping jendela. Terdengar suara berisik dari dalam sana, aduh ... apa yang sebenarnya yang mereka lakukan? aku sangat penasaran tapi bingung mau melihat mereka dari mana? Ah, mataku tertuju pada ventilasi di atas jendela. Aku harus mencari sesuatu untuk naik dan melihat dari ventilasi itu.

Ada drum air besar yang penuh air di ujung sana, segera aku berlari dan menumpahkan semua isinya secara perlahan lalu segera membawa ke dekat jendela dan membaliknya, setelah kupastikan aman, aku segera naik dengan hati-hati. Mataku memicing saat menyaksikan apa yang mereka lakukan.

"Siapa mereka? Dan untuk apa tali itu dipasang di atas sana?" Aku terus mengamati sampai akhirnya mereka mengalungkan tali dari kain berwarna merah itu ke leher seseorang yang tergeletak di bawah sana.

Perlahan tali itu mereka tarik dengan hati-hati sampai mengangkat tubuh orang yang tergeletak itu, "Sagita!" pekikku dalam hati kaget, tangan dan kakiku seketika gemetar melihat sosok yang dikalungkan dan ditarik ke atas itu adalah Sagita.

Sebenarnya di mana aku ini? Tempat ini, seperti kos-kosan Bu Tatik tapi kenapa agak berbeda dengan yang aku tempati sekarang?

Aku kembali mengawasi mereka, sepertinya yang satu seorang wanita dan yang satunya pria tapi entahlah baju dan wajah mereka tertutup kain hitam yang lebar dan suara mereka sangat pelan nyaris tak terdengar.

"Ayo cepat, kita keluar," ucap salah satu dari mereka. Aku yang mendengarnya bingung kaget, aku langsung berlari mencari tempat sembunyi yang tak jauh dari situ, terlihat mereka keluar dari kamar itu dengan mengendap-endap.

"Besok, tugasmu yang bilang kesemua orang kalau Sagita hamil, lalu ia bunuh diri karena menahan malu dan aib ini," bisik seseorang yang bertubuh pendek itu, entah kenapa suara berbisiknya itu terdengar jelas ditelingaku, seseorang yang lebih tinggi itu mengangguk tanda mengerti. Mereka berpelukan sebentar, lalu orang yang lebih pendek itu berjalan ke arah kamar lain yang tak jelas kamar berapa, lalu ia segera masuk. Sedangkan orang yang bertubuh tinggi itu berjalan ke arah samping, aku memilih mengikutinya, berjalan perlahan sampai akhirnya terhenti karena melihat ia masuk ke rumah Bu Tatik.

"Siapa dia?" gumamku pelan dan penasaran.

Sreett!

Seseorang mengkalungkan tali di leherku lalu menariknya dengan kuat, aku meronta dengan keras, napasku hampir habis, aku menggapai apapun yang ada disekitarku, tidak ... napasku ... ini sangat ... sakit! 'Lepaskan ... ' lirihku dalam hati.

"Hoh! Hoh! Hoh!" Mataku terbuka dengan nafas tersenggal-senggal, tapi kenapa masih terasa sesak? Aku seperti berada disebuah pelukan ... pelukan? Siapa yang memelukku? Aku mendongakkan kepala.

"Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan!"

Plak!

Aku mendorong Aldi dan menamparnya keras, aku merangkak mundur menjauh darinya. Ia yang kaget dan kesakitan mengusap pipinya pelan, matanya sembab? Dia menangis?

"Sagita sudah pergi ya?" ucapnya lirih.

"Apa maksudmu?"

"Tadi ... sepertinya Sagita masuk ke dalam tubuhmu, aku sangat merindukan dia, aku ingin memeluknya tapi hanya bisa melalui tubuhmu, Maaf." Ia berdiri, lalu mengulurkan tangannya membantuku berdiri.

"Sekali lagi, Maafkan aku." Aldi berbalik dan melangkan pergi, baru tiga langkah ia berjalan, tubuhnya berbalik dan menatapku, "Aku akan membantumu menemukan siapa pembunuhnya dan mulai saat ini aku akan ada selalu berada di sisimu ... Sagita," ucapnya tulus. Lalu ia berbalik dan benar-benar melangkah pergi meninggalkanku.

Aku yang masih berdiri terpaku menatap punggung Aldi yang semakin lama semakin menjauh, mengusap lenganku perlahan, entah kenapa pelukan dan harum parfum Aldi masih terasa di tubuhku.

---

"Jihan, kau sudah siap?" teriakku di depan pintu kamarnya.

"Sebentar, masuk saja, pintunya tidak dikunci," balasnya. Aku segera membuka dan terpana melihat kamar ini yang begitu rapi, semua serba warna merah muda.

"Kau penggila warna merah muda?" tanyaku sambil melihat-lihat foto yang tertempel di dindingnya.

"Ya begitulah," jawabnya sambil mengikat satu rambutnya. "Selesai, ayo berangkat, naik motorku atau motormu?" tawarnya.

"Motorku saja," balasku sambil mengacungkan kunci dihadapanya.

Kami berjalan beriringan ke arah parkir motor, gaun berwarna merah muda selutut yang Jihan pakai gunakan menambah kesan imut padanya, sedangkan aku yang tidak suka memakai rok, gaun dan sebangsanya memilih memakai celana kulot dan atasan berwarna biru muda.

"Mau kemana?" Suara Aldi terdengar dari arah belakang, terlihat ia sedang membawa kanebo (bukan kanebo kering ya, itukan kalian wahai netijen 😒)

"Jalan-jalan," balas Jihan sambil tersenyum manis, "Dan ini urusan cewek," ucapnya lagi dengan wajah jutek.

"Paling juga belanja-belanja nggak jelas, habisin duit," ucap Aldi lagi sambil mengelap mobilnya.

"Duit-duit kita, kenapa kamu yang sewot," balasku kesal sambil memakai helm. "Ayo, Jihan. Jangan dengerin pria jomblo yang kesepian itu."

"Enak aja kesepian, gini-gini banyak yang antri mau jadi pacarku tau!" ucapnya sambil berkacak pinggang, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa sih dia, aneh banget," bisik Jihan. Aku mengangkat kedua bahuku sambil melihat Aldi yang terus tertawa tanpa henti.

"Kalian yakin mau pergi pakai motor itu?"

"Iyalah, memangnya kenapa? Jangan sombong ya mentang-mentang punya mobil." Aku menstater motorku dan mulai menjalankannya, "Eh, kenapa ini?" Seketika aku mengerem karena merasa ada yang tak beres pada motorku. Jihan segera turun dan mengeceknya.

"Banmu yang belakang bocor, Meira," ucapnya sambil menunjuk ban belakangku yang memang sudah kempes. Sedangkan Aldi kembali tertawa sambil membersihkan mobilnya.

"Sudah, pakai motorku saja. Aku ambil kunci dulu ya." Jihan berjalan kembali ke arah kamarnya.

"Sepertinya hari ini akan turun hujan, enakan juga naik mobil. Hujan tak kehujanan, Panas tak kepanasan,"

"Diam kamu!" Bentakku pada Aldi.

"Jangan naik motornya, Meira. Ikutlah bersama Aldi saja." Suara Sagita terdengar di belakangku.

"Kenapa?"

"Ikutlah bersama Aldi, dia orang baik," ucapnya lagi sambil tersenyum manis lalu menghilang.

"Ayo." Jihan menepuk pundakku, aku menahannya cepat.

"Kita numpang Aldi saja ya? Aku takut sebentar lagi pasti turun hujan dan kau baru saja sembuh, gimana?"

Jihan menatapku lama lalu mengangkat bahunya pelan. "Terserah kau saja, yang penting kita jalan-jalan," ucapnya kemudian.

"Tunggu sebentar ya, aku bilang ke Aldi dulu," pamitku.

"Hei, bisa tolong antar kami jalan-jalan?"

"Kenapa harus aku? Pakai ojek online saja," balasnya sambil terus membersihkan mobilnya.

"Sagita yang suruh," bisikku di dekat telinganya.

"Jangan berbisik seperti itu, kau membuatku geli saja. Benar dia yang menyuruh?" Aku mengangguk.

"Baiklah, demi Sagita. Aku ambil jaket dulu," ucapnya lirih, lalu ia berjalan masuk ke dalam rumahnya.

----

"Kita makan dulu ya," ucap Jihan yang duduk di belakang bersamaku.

"Mau makan dimana?" balas Aldi.

"Ke tempat biasa aja," Aldi mengangguk pelan.

"Kalian sering pergi bersama?" tanyaku penasaran.

"Dulu, sama anak-anak yang lain juga. Tapi setelah Aldi diangkat jadi dokter dia sendiri yang jarang ngumpul," jawab Jihan.

"Oh ... " Aku menatap keluar jendela, melihat keadaan diluar sana yang basah karena sudah mulai turun hujan.

Jihan sibuk dengan ponselnya, sedangkan Aldi mengemudikan mobilnya dalam diam, sesekali aku memergokinya yang sedang melihatku dari kaca depan. Aku ingin menegurnya tapi tak enak karena ada Jihan.

Lima belas menit kemudian, mobil ertiga putih milik Aldi ini memasuki halaman parkir sebuah mall besar di tengah kota. Setelah mendapatkan tempat parkir yang pas, kami akhirnya turun dan berjalan memasuki mall ini. Aku dan Jihan bergandengan dengan sesekali bercanda, sedangkan Aldi memilih berjalan dibelakang tanpa berkomentar apapun. Entahlah, apa yang ada dipikirannya.

Kami masuk ke sebuah cafe dengan nuansa klasik jawa, terlihat ada beberapa anak muda juga yang mengisi beberapa meja di cafe ini.

"Kau mau makan apa, Meira?" tanya Jihan sambil menyodorkan menu yang ia ambil dari meja depan tadi.

"Apa yang enak disini?" tanyaku balik.

"Hmm mie goreng jawa seafood atau nasi goreng kampung, itu yang enak menurutku,"

"Nasi goreng saja, super pedas ya dan tanpa telor karena aku alergi," balasku sambil iseng-iseng membuka menu.

"Aldi, kau pesan apa?" tanya Jihan.

"Samakan dengan Meira saja," jawabnya sambil memainkan ponsel. Aku sekilas melihatnya lalu beralih lagi ke menu yang ada di depanku.

"Minumnya, es degan gula jawa ya," ucapku lagi.

"Kau, sama dengan Meira juga?" tanya Jihan pada Aldi. Ia mengangguk tanpa melihat Jihan.

"Kalian ini seperti orang pacaran saja," ejek Jihan.

"Heh, jangan sembarangan kalau bicara." Kusenggol lengan Jihan pelan. Ia malah tertawa sedangkan Aldi tak merespon apapun, ia masih asyik dengan ponselnya.

Sepuluh menit kemudian pesanan kami sudah datang, nasi goreng ini terlihat sangat menggoda, dengan lahap aku mulai menyantapnnya dan benar saja ini sungguh sangat lezat. Dalam sekejap sepiring nasi goreng itu telah berpindah ke perutku.

"Aku ke toilet sebentar ya," pamitku.

"Perlu aku temani?" tawar Jihan, aku menggeleng.

Aku yang tadi berjalan ke belakang kemudian sedikit berlari ke arah keluar cafe karena kamar mandi di cafe ini sedang dalam perbaikan.

"Ah, leganya ... " Aku keluar dari toilet itu dengan wajah bahagia. "Hei, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku pada Aldi yang berdiri bersandar di dinding di luar toilet.

"Ikut aku, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," jawabnya sambil menggandeng tangaku dan berjalan entah ke mana. Tangannya terasa dingin saat menyentuh kulitku, apa dia sedang cemas atau gimana?

Dia terus menggandengku menaiki tangga darurat sampai ke atap mall ini, di sini sangat sepi ditambah hujan gerimis begini suasana terasa dingin dan mencekam, bulu kudukku seketika merinding. Aldi melepaskan tangannya, kemudian berjalan ke tengah.

"Kemarin Sagita bilang padaku kalau ia tidak hamil," ucapnya pelan.

"Lalu?"

"Ada yang menjebaknya," Dia berjalan ke arah pinggir gedung, tangannya ia masukkan ke saku celana, matanya melihat awan mendung di atas sana, sedangkan wajahnya dibiarkan basah oleh tetesan hujan.

"Hatiku hancur saat mengetahui selama dua tahun ini aku membencinya karena kehamilannya yang ternyata bohong,"

"Maafkanlah dirimu dan berdamailah dengan kenyataan yang kau terima sekarang, Al. Kembalilah ke sini, hujan akan semakin deras," balasku cemas karena melihat ia tetap diam tak bergeming di pinggir sana.

"Dia mengajakku pergi bersamanya, Meira."

"Apa maksudmu? Jangan gila!"

"Aku sangat mencintainya dan aku ingin hidup bersamanya, maafkan aku, Meira." Dia menaiki tembok pagar pembatas.

"Aldi! Turun, istighfar, Al. Jangan menuruti hawa nafsu dan tipu dayanya. Ingat! Bunuh diri itu dosa!" teriakku kerasa sambil berjalan perlahan mendekatinya.

"Maafkan aku, Meira. Dan sampai jumpa." Ia melompat, benar-benar melompat.

"Tidaaak! Aldi, jangan!" Aku berlari kencang mencoba meraih tangannya tapi gagal, hanya angin yang ku gapai. Tanganku gemetar, aku menyaksikan orang bunuh diri tepat di depanku, aku menengok ke bawah gedung berlantai lima ini, pasti di bawah sudah ramai orang berkerumun.

"Sepi?" Aku kaget melihat ke bawah yang sepi dan tak ada tubuh Aldi di sana.

"Kau mencariku?" Aldi menyeringai dan dengan cepat mendorongku, aku yang kaget hanya mampu berpegangan pada tembok pembatas dengan kedua tanganku yang basah oleh air hujan ini. Sosok Aldi yang mendorongku tadi tiba-tiba berubah menjadi sosok hitam besar berwajah hancur dan mata menonjol keluar.

"Aku dikirim Tuanku untuk membunuhmu," ucapnya dengan suara serak. Tanganya menggenggam pisau yang sepertinya akan dihujamkan ke jari-jariku yang mulai licin ini.

"Ya Alloh, tolong hamba, Astaghfirulloh ... " ucapku lirih, kakiku mencoba mencari pijakan tapi sia-sia.

"Bertemulah dengan Sagita di neraka!"

Aku ingin berteriak tapi tenagaku sudah terkuras habis menahan tubuh ini, aku terus merapalkan doa dan menyebut nama Alloh di dalam hatiku.

Pisau itu sudah di angkat tinggi, mataku terpejam, aku tak sanggup melihatnya, tubuhku sudah lemas.

"Meira!!" Suara itu ... Aldi?

"Meira!! Kau dimana!"

Aku membuka mataku, sosok besar hitam tadi sudah hilang, aku mencoba menggerakkan jariku tapi rasanya kaku.

"Al ... di ... " lirihku, mungkinkah ia dengar? tanganku semakin lemas, tak kuat lagi menahan berat tubuhku. Sagita ... mungkin sebentar lagi aku akan menyusulmu, perlahan jari jemari ini mengendur dan satu persatu terlepas dari tembok pagar pembatas itu. Aku pasrah ...

Srakk!!

Saat tubuhku sudah hampir melayang tiba-tiba sebuah cengkraman tangan menahan tanganku kuat. Aku yang tadinya menutup mata, kini membuka mata dengan cepat.

"Aldi ...," lirihku yang karuan rasanya.

"Kau sangat berani, Nona. Bermain-main di area seperti ini," balasnya dengan nada yang sedikit mengejek, cengkraman tanganya sedikit mengendur.

"Jangan coba-coba lepas tanganmu, Al." Mataku melotot mengancamnya.

"Tapi kau sangat berat, aku tidak yakin bisa menahan tanganmu lagi. Lagian, kenapa kamu bisa ada ditempat seperti ini?"

"Setan tadi menyamar menyerupaimu. Sialnya, aku percaya saja dan mengikutinya sampai sini."

"Benarkah? Ganteng siapa?"

"Bisakah kau bertanya yang lebih penting? atau cepat tarik aku ke atas sekarang!"

"Jawab saja atau kulepaskan tanganku," Aldi benar-benar mengendurkan genggamannya.

"Kamu! Kamu lebih ganteng darinya!" teriakku, ada senyum yang teukir di bibir tipisnya. "Cepat tarik aku!" Bentakku sebal.

"Iya, iya, sabar ... kau ... harus diet ... setelah ini," ucapnya sambil menarik tanganku dan meraih tubuhku cepat.

Brukk!

Tubuh kami terjungkal kebelakang, tapi kenapa aku tak merasa sakit tapi justru merasa sesak.

"Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan!" Bentakku pada Aldi yang ternyata berada dibawahku dan sedang memeluku erat. Aku menyingkirkan tangannya dan segera berdiri cepat.

Aku berjalan cepat menuju pintu namun terhenti saat melihat Sagita tersenyum di dekat pintu, "Berhati-hatilah, Meira. Ada seseorang yang sengaja mengirim makhluk untuk membunuhmu, dia tau kalau kamu bisa melihatku," ucapnya lembut.

"Benarkah? Berati yang tadi itu ... " Sagita mengangguk, lalu matanya beralih ke Aldi yang sedang sibuk membersihkan badannya.

"Jangan jauh-jauh darinya, dia yang akan banyak membantumu nanti," ucap Sagita sambil tersenyum ke arahku.

"Berbicara sendiri? Seperti orang gila saja," cibir Aldi yang ternyata sudah berdiri di belakangku.

"Dengan Sagita," balasku singkat.

"Benarkah? Apa dia masih di sini? Atau masuk ke dalam tubuhmu lagi?" tanyanya sambil memegang kedua pundakku erat.

"Jangan modus!" Aku menyingkirkan tangannya dan segera berjalan keluar dari atap gedung itu. Aku kembali menuju cafe tempat dimana kami makan tadi, terlihat Jihan masih duduk manis di sana sambil memainkan ponselnya.

"Jihan, maaf lama ya?"

"Astaga, Meira. Kau dari mana saja? Aku sangat cemas, tadi harusnya aku yang menyusulmu bukan si Aldi itu, lalu di mana Aldi sekarang?" Jihan memelukku erat.

"Tapi ada sedikit insiden tapi alhamdulillah sudah teratasi, ayo kita tunggu di parkiran saja, biar nanti kita titip pesan pada waitters di sini untuk sampaikan ke Aldi," ajakku sambil menggandeng tangan Jihan erat yang teras sedikit dingin. Setelah membayar, kamipun segera berjalan beriringan menuju parkiran.

"Meira, aku ke toilet sebentar ya," pamit Jihan saat kami tiba di basemant parkiran. Aku mengangguk, kemudian berdiri di depan mobil Aldi, samar-samar aku mendengar deru mobil yang melaju kencang. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada tanda-tanda mobil mendekat lalu tiba-tiba silau lampu mobil mengagetkanku, mobil itu melaju kencang ke depan, ke arah Jihan yang sedang berjalan.

"Jihan! Awas! Minggir!" teriakku berlari ke arahnya, saat tanganku ingin menggapai tubuhnya ada seseorang yang menarikku keras dan seketika kami terjatuh bersama.

"Aw!" teriak orang yang menarikku tadi.

"Aldi, kau tidak apa-apa?" tanyaku kaget saat melihat orang yang menarikku tadi ternyata Aldi, aku mengelus tanganku yang juga merasakan sakit.

"Ada apa denganmu! Apa kau sudah bosan hidup? sampai berlari menabrakkan diri kemobil seperti itu?" tanyanya balik dengan wajah yang terlihat marah.

"Tadi, aku ... akan menolong Jihan," balasku.

"Jihan? Jangan bercanda! Jihan sudah pulang dari tadi, sebelum aku menyusulmu ke atas, orang tuanya menelfon, mereka datang mendadak ke kos, oleh karena itu ia harus segera pulang."

"Tapi, tadi benar-benar Jihan, aku tidak bohong ... " Lidahku kelu, benarkah tadi bukan Jihan? Atau benarkah kata Sagita kalau ada kiriman untuk membunuhku?

"Hei, kenapa kau menangis?" Aldi membantuku berdiri lalu mengusap pundakku lembut, aku menggeleng pelan.

"Ayo, masuk mobil saja," ajaknya sambil menuntunku yang terlihat masih gemetar ini.

---

"Minumlah dulu," ucapnya sambil memberiku botol yang berisi minuman dingin. Aku segera meminumnya lalu mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskan dengan perlahan.

"Ada apa sebenarnya?" tanyanya dengan wajah serius. Perlahan aku menceritakan semua yang terjadi termasuk mimpi yang aku alami saat pingsan di rumah sakit semalam ketika Sagita memasuki tubuhku.

"Tenanglah, kejahatan tak akan pernah menang selama masih ada orang baik sepertimu. Aku akan berusaha membantu dan menjagamu, walau tidak dua puluh empat jam full tapi percayalah dengan kekuatan doa, Alloh selalu melindungi hamba-Nya," ucapnya penuh keyakinan. Aku menatap matanya tajam, ada kesungguhan disetiap kata-katanya.

"Jangan melihatku seperti itu, nanti kamu bisa jatuh cinta," ucapnya lagi yang kali ini membuatku memutar malas bola mata dan mengalihkan pandanganku keluar kaca mobil.

"Kau wanita yang pemberani, Meira. Kau sangat mirip dengan Sagita ... " Suara Aldi terdengar parau, sedetik kemudian aku melihat wajah Sagita dari pantulan kaca mobil, ia menatap Aldi dengan tatapan nanar.

Bersambung..

Spoiler 5:
Srek!

Kurobek bungkus mie instan yang akan kumasak untuk makan malam. Harusnya malam ini ada janji pergi dengan Jihan untuk makan di luar, tapi orang tua Jihan mendadak datang dan mereka pergi keluar sejak tadi siang sampai sekarang belum pulang.

"Masak apa?" Aku menoleh, Mila masuk ke dapur membawa botol minum kosong.

"Mie instan, kau mau?" tawarku. Ia menggeleng, lalu berjalan ke arah galon dan mengisi botol minumnya. Bu Tatik memang memberi kami fasilitas dapur dan air minum gratis.

"Apa Jessica masih belum boleh pulang dari rumah sakit?" Mila menarik salah satu kursi ruang makan dan duduk di sana.

"Aku tak tahu, coba besok aku tanyakan ke dokter yang menanganinya." Aku duduk di hadapannya dengan sepiring mie goreng, "Apa kau mulai merindukannya?" godaku. Ia tersenyum tipis.

"Aku bingung, Meira." Wajahnya terlihat lesu.

"Bingung kenapa?"

"Sebenarnya, dia pernah bilang padaku kalau ingin mengakhiri hidupnya."

"Uhuk!" Aku tersedak mendengar pengakuan Mila, ia cepat-cepat mengambilkan air dan memberikannya padaku.

"Kapan dia bilang seperti itu?" Aku menatapnya serius, selera makanku tiba-tiba hilang.

"Sebelum kau datang ke kos ini, mungkin ... sekitar dua minggu yang lalu."

"Lalu? Kau tau apa alasannya?"

"Dia tidak pernah memberitahuku alasannya, dia cuma berkali-kali bilang kalau ia tak sanggup lagi hidup dan ingin mengakhirinya saja."

"Apa dia ada masalah dengan seseorang?"

"Jessica itu orangnya keras kepala tapi dia juga sangat baik, entah kenapa akhir-akhir ini ia menjadi tertutup, Meira. Aku yang terbilang dekat dengannya sampai merasa kalau ia bukan Jessica yang kukenal selama ini."

"Kasian sekali, dia menyimpan bebannya sendiri. Btw, berapa lama kalian ngekos disini?"

"Hmm, aku sudah tiga tahun ... sedangkan Jessica baru satu setengah tahun."

"Berati kau tahu tentang kasus Sagita?"

"Ssstttt, jangan membicarakanya di sini, Meira. Atau nanti malam ia akan mengganggu tidurmu." Mila meletakkan telunjuknya di depan mulut dengan cepat. Wajah lesunya seketika berubah menjadi wajah yang ketakutan.

"Aku jamin dia tidak akan mengganggumu, percayalah. Ceritakan padaku sedikit tentangnya."

"Tidak, Meira. Aku tidak berani. Aku pernah sampai tidak tidur dua malam karena terus diganggu olehnya. Maafkan aku, aku pergi dulu." Mila beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari ruang makan dengan cepat.

"Mila, tunggu! Mila ... " Aku ingin mengejarnya tapi terhenti karena melihat Sagita berdiri di dekat pintu. Aku mendengkus kesal dan melengos darinya, aku duduk kembali dan mencoba menghabiskan sisa mie instanku yang sudah dingin.

"Namanya Mila Sandra, dia salah satu teman di perusahaan tempatku bekerja, cuma beda bidang saja." Sagita sudah duduk manis di depanku. Aku mendengar tapi aku sengaja tak mau melihatnya.

"Dia yang pertama kali menemukanku pagi itu," ucapannya kali ini membuatku mendongakkan kepala untuk melihatnya.

"Kau mengingat dia yang menemukanmu tapi kenapa tak mengingat siapa yang membunuhmu?"

"Aku juga tak tahu, seperti sengaja ditutupi sampai aku benar-benar tidak bisa mengingatnya."

"Saat kau memasuki tubuhku kemarin, aku seperti berada di masa kau dibunuh, tapi entahlah, aku tak begitu jelas dan mengingatnya."

"Benarkah? Apa yang kau lihat?"

"Dua orang yang berpakaian serba hitam, lalu ... " Kalimatku tergantung, ragu untuk melanjutkannya, aku merasa ada orang lain yang berada di sekitarku. Aku segera berdiri dan melihat keluar, benar ada bayangan orang yang berlari dengan cepat. Aku mengejarnya, ia berlari ke arah halaman kosan lalu menghilang, benar-benar menghilang. Kulihat, gerbang masih tertutup rapat.

Kuedarkan pandanganku meneliti setiap sudut, kenapa ia bisa berlari dengan sangat cepat dan menghilang seperti ini? Dia manusia atau bukan?

"Cari siapa?"

"Astaghfirulloh!" Aku berjengkit kaget saat membalikkan badan ada orang didepanku dengan pakaian serba putih. "Kenapa berpakaian seperti ini dimalam hari? Kau seperti pocong!"

"Ya Ampun, ganteng gini dikatain pocong. Lagian mana ada pocong pakai baju muslim dan sarung kayak gini?" Aldi berkacak pinggang, wajahnya terlihat kesal.

"Ada, kamu! Minggir, aku mau masuk." Aku berjalan cepat menyenggol bahunya.

"Hei, tunggu. Sudah makan belum?" Ia berlari dan berdiri tepat di hadapanku.

"Tadi baru aku baru makan saat merasa ada seseorang yang menguping pembicaraanku dengan Sagita, saat aku mengejar tiba-tiba ia menghilang."

"Siapa? Di sini nggak boleh ada orang lain masuk di atas jam tujuh malam kecuali keluarga." Aldi melipat kedua tangannya di depan dada.

Aku mengangkat bahu. "Mungkin bukan manusia, karena larinya sangat cepat," balasku. "Hmm, boleh aku bertanya?"

"Boleh, satu pertanyaan 50.000."

"Lupakan saja, selamat malam!"

"Hei, astaga, kenapa kau kaku sekali, nggak bisa diajak bercanda sedikit saja." Ia menahan lenganku dan menariknya ke hadapannya lagi.

"Ada berapa kamar dulu di sini?" tanyaku.

"Hmm, saat pertama kali dibangun ada lima belas lalu baru satu tahun ini ditambah lima kamar lagi, jadi total sekarang ada duapuluh kamar."

"Berati kamar terakhir yang berada di pojok pertama kali itu nomor 15?"

"Iya, ada di pojok sana dulu sebelum ada lima kamar setelahnya. Tapi aku tak tahu kamar siapa, ibuku yang tahu." Aku terdiam mendengar jawaban Aldi. Lalu mulai menyusun potongan puzzle dari mimpi saat Sagita merasuki tubuhku dan keadaan yang sekarang ini.

"Ada apa?" Aku menatap Aldi sekilas, lalu duduk dikursi teras dan mulai menceritakan apa yang ada dimimpiku saat itu. Terlihat tangannya mengepal, wajahnya yang tadi santai kini berubah menjadi merah menahan emosi.

"Kau tau siapa yang menempati kamar itu?" tanyanya, suara Aldi terdengar berat.

"Jihan," jawabku pelan.

"Jihan? Apa kau yakin Jihan yang melakukannya?"

"Tidak, aku tidak mau menuduh orang tanpa bukti. Kita harus menyelidikinya dulu, aku yakin Jihan orang baik. Kata Sagita juga dia orang baik tapi kita tidak tau apa yang ada di dalam hati dan pikirannya."

Aldi menghembuskan nafas panjang, matanya menatap langit malam, entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang. "Masuk dan beristirahatlah, Meira," ucapnya sambil berjalan menuju rumahnya.

---

"Rosa!" teriakku saat melihatnya berjalan ke arah parkiran.

"Ada apa?"

"Kau masuk malam?" Ia mengangguk.

"Boleh aku bertanya? Ini tentang Sagita."

"Sagita? Kenapa dengannya?"

"Kau tau, apa dia hamil saat ditemukan meninggal dulu?" Rosa terdiam, matanya menerawang ke atas.

"Sepertinya tidak, tapi aku lupa, coba kau cek saja di gudang data dan minta petugas di sana untuk mencarikan data pasien yang meninggal di bulan Mei dua tahun silam."

"Oh, Baiklah. Terima kasih atas informasinya."

"Oke, sama-sama. Aku pulang dulu ya."

"Hati-hati di jalan, Rosa." Ia mengangkat jempol dan berjalan ke arah motornya.

---

Pagi ini pasien yang masuk ke IGD cukup ramai, aku yang berniat untuk meminta ijin ke gudang data belum sempat sampai sekarang. Kulirik jam di dinding, sebentar lagi pergantian istirahat siang. Akan kugunakan waktu istirahat untuk pergi ke gudang data saja.

Setelah bertanya pada Mbak Nonik dan meminta ijin dengan alasan mencari data saudaraku yang dulu pernah kecelakaan disini akhirnya ia mengijinkan, walau terlihat dari wajahnya ia keberatan aku memasuki gudang data.

Sekarang, aku tepat berdiri di pintu gudang data. Sepi sekali, ke mana perginya petugas di sini. Pasti sedang istirahat siang semua, aku mengisi buku kunjungan yang tergeletak di meja depan lalu membuka pintu dan melangkah masuk ke gudang yang pencahayaannya sangat minim ini. Tanganku meraba dinding samping mencari saklar lampu.

Klik!

Kenapa tidak menyala? Kutekan berulang kali masih tetap tidak menyala. Ah, mungkin lampu itu rusak. Kurogoh saku baju dan mengambil ponsel, dengan berbekal senter dari ponsel kumulai menyisir lorong demi lorong mencari tahun dimana Sagita meninggal. Perasaanku rak-rak besar ini terlihat menyeramkan, tumpukan buku dan benda mati lainnya terasa hidup dan mengawasi setiap gerak gerikku.

Sreett!

"Siapa di sana!" teriakku saat merasa ada sekelebat bayangan lewat. Aku berlari ke arah banyangan itu lewat, tidak ada siapa-siapa.

Tap! Tap! Tap! Tap!

Ada langkah berlari dari lorong sebelah, aku kembali berlari untuk melihatnya, tidak ada siapa-siapa juga. Kuarahkan ponselku keseluruh ruangan. "Jangan bermain-main denganku! Keluarlah!" teriakku lantang. Tak ada jawaban, tak ada suara.

Aku kembali berjalan mencari tulisan tahun yang kucari. Ah, ketemu ... Kuletakkan ponsel di bawah dan menurunkan setumpuk berkas yang bertuliskan MEI.

"S... S... S..." Jariku dengan cepat mencari abjad huruf S.

"Ketemu, Sagita Aurora usia dua puluh tiga tahun, meninggal karena kehabisan oksigen dan keracunan ... " aku membaca berkas itu dengan teliti.

"Ada luka lebam di bagian punggung dan ... "

Brak!

"Astaghfirulloh!" Terdengar suara benda dibanting dengan keras. Segera kurapikan berkas itu, kecuali punya Sagita. Aku melipatnya dan kuselipkan di dalam baju.

Kuarahkan ponselku ke segala arah, tidak ada benda yang jatuh. "Sebaiknya aku keluar saja, akan kutunjukkan ini pada Aldi dan ... "

Langkahku terhenti, ada benda dingin menempel di leherku. Kulirik melalui ekor mataku, benda dingin itu berbentuk panjang dan basah.

"Siapa!" tanyaku lantang.

"Jangan berbalik atau kepalamu akan terpisah dari tubuh ini." Suaranya serak dan mengerikan.

"Jangan mengancamku! Siapa kam ... aw!" Sesuatu yang tajam menembus kulit di leherku, aku merasa ada yang mengalir setelahnya.

"Diam, atau ini akan semakin masuk ke dalam," ucapnya lagi.

"Apa maumu?" Perih mulai terasa di sana, "Kau ingin membunuhku?" tanyaku lagi. Tak ada jawaban, ia justru mendorongku sampai menempel ke dinding lalu mengikat kedua tanganku kebelakang.

"Apa kau siap menyusul Sagita sekarang?" tanyanya dengan suara serak itu, lalu terdengar suara tali yang dipecutkan ke udara.

"Apa sebenarnya masalahmu? Kita bisa bicarakan baik-baik dan memecahkannya secara ... aw!" Baju putih yang kupakai terlihat sudah terkena darah, terutama dibagian atas.

"Jangan mencoba menceramahiku!"

"Kenapa kau ingin membunuhku?" tanyaku pelan.

"Karena kau mulai mengusik kejadian dua tahun silam! Dan aku tau, kau selama ini berinterkasi dengan Sagita!"

"Aku, hanya ingin ia hidup dengan tenang dan tidak menganggu ... aw! Ini sangat sakit, lepaskan aku!" Benda tajam itu semakin menusuk leherku dalam, rasanya sangat sakit sekali.

Bug! Bug! Bug!

"Meira! Kau di dalam! Buka pintunya!" Seseorang menggedor pintu dengan keras.

Suara itu? Aldi ...

"Jika kau bersuara, jangan berharap bisa melihat dunia ini lagi!" ancamnya dengan menusukkan benda tajam itu semakin dalam. Sakit sekali!

"Meira!!" Suara Aldi terdengar makin lantang, ia terus menggedor pintu berkali-kali sampai akhirnya sepi, suara Aldi tak terdengar lagi.

Aku hanya bisa pasrah, dengan tangan terikat kebelakang dan benda tajam menancap di leherku. Ia menutup mataku dengan kain yang basah dan berbau anyir.

'Ya alloh tolong aku ... " lirihku dalam hati, rasanya sangat sakit.

Srekk!

Ia menarik benda tajam itu dengan keras. "Aww! Astaghfirulloh, sa ... kit!" Aku terkapar di bawah, darahku terasa mengalir semakin deras membasahi baju dan wajahku.

Ia mengangkat kepalaku dan memasukkan semacam tali keleher, tiba-tiba bayangan kejadian Sagita yang ada dimimpi terlintas di pikiranku.

"Ja ... jangan." pintaku, tak ada jawaban, ia tetap mengikat tali itu keleherku dan mengikatnya tapi tak kencang.

"Lepaskan aku ... atau kau akan menyesal nanti," ucapku pelan.

"Sampai berjumpa di neraka." balasnya dengan suara serak. Ia menyeret tubuhku, aku lemas, darah ini keluar terlalu banyak, ingin meronta tapi tenagaku tak ada.

"Alloh ... Alloh ... Alloh ... " gumamku selama ia menyeret tubuhku.

Beberapa detik kemudian, ia melempar tubuhku ke arah benda keras lalu terdengar suara benda dilempar ke udara berulang kali sampai akhirnya terhenti dan aku merasakan kepala ini pelan-pelan terangkat.

"Jang ... an, ja ... ngan." Bayangan Sagita yang di gantung lagi-lagi terlintas di pikiranku. Perlahan napasku mulai tersendat, luka tusuk di leher ditambah cekikan tali ini membuatku merasakan kematian sudah di depan mata.

Kakiku mulai tak menginjak tanah, ini sangat sakit. Aku ingin melawan tapi tenagaku sudah terkuras habis. "Ya Alloh tolong aku ... " pintaku untuk terkahir kalinya. Setelah itu aku pasrah.

Braak!

Terdengar sesuatu dihantam dengan keras dan tiba-tiba tubuhku jatuh ke bawah, cekikan di leher hilang, aku terbatuk keras karena kehabisan napas.

"Berhenti! Jangan lari!" Seperti suara Aldi yang berteriak dan berlari dengan kencang.

"Astaga, Meira! Kau tak apa-apa?" Seseorang membuka penutup mataku dan menutupi tubuhku dengan kain.

"Ji .. han," lirihku memanggilnya disisa-sisa tenagaku.

"Bertahanlah, Meira. Aku akan membawamu keluar dari sini." Ia bersiap menggendongku di belakang tapi karena tubuhnya lebih kecil dari tubuhku terlihat ia sangat kesusahan.

"Biar aku saja." Aldi mengambil alih tubuhku, ia menatapku sesaat.

"Di mana orang itu?" tanya Jihan khawatir.

"Dia berhasil kabur! Aku akan mengurusnya setelah ini, tolong hubungi petugas IGD untuk menyiapkan kantung darah sesuai data Meira."

"Baik." Jihan segera berlari meninggalkan kami.

"Apa sangat sakit?" tanya Aldi lembut. Ia melepas jas putihnya lalu membersihkan darah yang ada di wajah dan leherku, ia juga melepaskan ikatan tali di tangan dan di leherku. Aku mengangguk, air mataku menetes. Aku masih hidup.

"Maafkan aku ... aku terlambat datang," ucapnya penuh penyesalan.

"Kau datang tepat waktu, terima kasih." Ia menutupi luka dileherku dengan jas putihnya yang sudah ternoda oleh darahku.

"Bertahanlah, kau pasti akan baik-baik saja." Ia mulai menggendongku, kepalaku menempel di dada bidangnya, terdengar detak jantung yang tak menentu.

"Al .... " panggilku lirih.

"Apa? Apa kau merasakan sakit?" tanyanya cemas.

"Tidak, aku hanya merasa terganggu dengan detak jantungmu yang begitu cepat."

"Itu karena ... aku takut kehilanganmu, diamlah! Jangan banyak bicara atau kau akan kehabisan tenaga nanti!" Wajahnya memerah.

"Terima kasih .... " ucapku lagi sebelum mataku benar-benar berat untuk dibuka. Gelap. Aku hanya bisa melihat Sagita tersenyum manis dengan tangan terulur ke arahku.

Bersambung..

Spoiler 6:
Kepalaku terasa berat, perlahan kugerakkan tanganku tapi kenapa tidak bisa? ada tali dipergelangan tanganku yang menyatu dengan pinggiran ranjang. Kenapa aku diikat seperti ini? Tanganku? Kakiku? Sial, siapa yang melakukan ini. Aku meronta mencoba melepaskan diri tapi malah sakit yang kudapat karena ikatan ini terlalu kuat.

"Kamu sudah bangun?" Seseorang berpakaian serba hitam berjalan ke arahku.

"Siapa kamu?" Aku mentautkan alis melihatnya dengan seksama, wajahnya yang tertutup kain hitam membuatku sulit mengenalinya.

"Apa kamu yakin ingin tahu siapa aku?" Ia mengeluarkan tali berwarna merah dari belakang badannya.

Mataku terbelalak melihatnya, "Apa maumu?" Badanku meronta lagi tapi sia-sia, tangan dan kakiku terikat sangat kuat.

"Membunuhmu, apalagi?" Ia berjalan semakin mendekatiku, tangannya terulur memegang leherku, "Apa luka ini masih terasa sakit?"

"Jangan menyentuhku!" Cuih! Aku meludah ke arahnya. Terdengar dengkusan kasar yang ia hembuskan.

Srek!

Ia menarik perban yang yang menutupi luka di leherku, darah yang tadinya berhenti kini keluar lagi. "Bagaimana kalau kita mengulang kejadian di gudang yang tertunda tadi?" Dengan cepat ia mengkaitkan tali yang ia bawa dileherku.

"Siapa sebenarnya kamu ini?"

"Jangan banyak bicara dan nikmati saja detik-detik kematianmu ini!" Ia melepas tali ditangan dan kakiku lalu menyeretku kasar.

"Lepaskan aku! Kamu gila! Lepas!" teriakku keras.

"Meira ... Meira ... Buka matamu ...Bangunlah!"

Mataku terbuka cepat dengan napas yang tersenggal dan tangan yang memegang leher, "Jihan?" Wajah Jihan terlihat panik di depanku.

"Kamu mimpi buruk lagi?" Ia menyodorkan minum ke arahku, aku mengangguk lalu meminum air itu sedikit.

"Apa lehermu masih sakit?" Ia berjalan mengambil kursi dan duduk di samping ranjangku.

"Sedikit, kenapa tiba-tiba kamu ada di rumah sakit?" tanyaku yang sedikit bingung karena tiba-tiba saja melihat Jihan di rumah sakit, padahal pagi tadi kata Mila, Jihan belum kembali sejak kemarin pergi bersama orang tuanya.

"Aku baru saja pulang dari rumah Pamanku, lalu mengantarkan orang tuaku ke Stasiun. Saat melewati rumah sakit ini, aku memutuskan mampir untuk menjenguk Jessica tapi malah bertemu Aldi yang kelihatan bingung mencarimu."

"Oh, sudah bertemu Jessica?"

"Dia sudah pulang kata perawat yang ada di sana."

"Oh ya? Kapan?"

"Kemarin, tapi sepertinya pulang ke rumah orang tuanya."

"Mungkin, karena kalau pulang ke kosan pasti aku tahu," balasku.

"Istirahatlah, Meira. Aku akan menebus obatmu dulu." Jihan berdiri dan merapikan selimutku. "Mau titip sesuatu?" Aku menggeleng. Ia tersenyum, lalu pergi keluar kamar.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat setiap sudut kamar inap dengan satu bed dan kamar mandi dalam, sepertinya ini kelas VIP karena ada televisi dan kulkas juga di dalam sini. Aku tahu siapa lagi yang menempatkanku di sini kalau bukan Aldi.

Jika mengingat kejadian tadi di gudang data membuatku bergidik ngeri, antara hidup dan mati. Aku yakin orang yang melakukan hal gila seperti tadi adalah orang dalam yang mengenalku dan juga Sagita. Tapi siapa? Jihan, orang yang di curigai Aldi pun justru merawatku dengan baik di sini.

Aku mencoba memejamkan mata, suara gerakan jarum jam dan tetesan air di kamar mandi terdengar sangat menyeramkan dan mengangguku. Mata ini kembali terbuka lalu menangkap wajah sendu di ujung kamar, Sagita.

"Ada apa denganmu?" tanyaku saat melihatnya tidak seperti biasa. Ia tersenyum lalu berjalan mendekatiku.

"Maafkan aku," ucapnya lirih. Ada luka lebam di wajah dan tanganya. "Aku tidak bisa melindungimu tadi."

"Apa terjadi sesuatu padamu?"

"Ya, mereka mengirimi penjaga yang menghalangiku untuk menolongmu tadi."

"Penjaga? Seperti yang menyerangku sewaktu di mall itu?" Sagita mengangguk.

"Kekuatannya lebih besar dariku, lihat ... ini akibat aku melawannya tadi." Ia menunjukkan beberapa lebam di wajah dan tangannya.

"Sakit?"

"Tidak lebih sakit daripada melihatmu menderita seperti ini, Meira. Maafkan aku."

"Aku baik-baik saja, mulai hari ini aku berjanji akan mengungkap kematianmu. Pegang janjiku, Sagita. Sepertinya aku akan lebih serius mendalami kasusmu ini. Aku yakin dia orang dalam yang mengenalku dan juga mengenalmu."

"Terima kasih, Meira. Terima kasih untuk niat baikmu." Ada buliran air yang menetes di wajah cantiknya.

---

"Dimana Jihan?" Aku mengalihkan pandanganku ke sosok yang masuk dengan seikat bunga di tangannya.

"Dia pulang sebentar, nanti katanya mau ke sini lagi dan tidur menemaniku," jawabku. "Kamu tidak ada pasien, Al?" Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam.

"Sudah selesai semua." Ia berjalan ke sisi ranjang dan meletakkan bunga yang ia bawa ke vas yang sudah tersedia di meja. "Biar sedikit segar," ucapnya lagi.

"Terima kasih sudah menolongku."

"Sama-sama, sebenarnya saat melihatmu di parkiran tadi pagi aku sudah merasa aneh. Aku ingin menanyakannya padamu, tapi saat mencarimu di ruang perawat dan IGD kamu nggak ada, kata Mbak Nonik pergi ke gudang data dan ia memintaku untuk menyusulmu."

"Aneh bagaimana?"

"Kamu mengobrol dengan siapa tadi pagi saat di parkiran?"

"Sama Rosa."

"Rosa? Rosa yang bertugas bagian IGD itu?" Aku mengangguk, "Kamu yakin?" Aku mengangguk lagi. Lalu dia terdiam, ia menarik kursi dan duduk di samping ranjangku.

"Memang ada apa?" tanyaku bingung.

"Lihat ini ... "Aldi mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memperlihatkan sebuah video kepadaku, video cctv saat aku di parkiran sedang berbicara sendirian, tidak ada orang lain di video itu selain aku. Di mana Rosa?

Aldi menatapku sekilas lalu menyandarkan punggungnya ke kursi, "Yang kamu ajak bicara itu bukan Rosa tapi sepertinya sosok makhlus ghaib yang menyamar menjadi Rosa dan dengan sengaja menjebakmu untuk pergi ke gudang data lalu mencoba membunuhmu."

Aku terhenyak mendengar cerita Aldi, sungguh permainan sangat rapi dan keji sekali yang dilakukan pembunuh itu. Ia bahkan mampu menghalangi Sagita dan mampu mengecohkanku.

"Ini sudah sangat berbahaya, Meira. Dia bukan orang yang sembarangan, terlihat dari permainannya yang rapi dan tidak punya hati untuk melukai korbannya."

"Apa tidak ada cctv di sekitar gudang data dan sekitarnya?"

"Ada, tapi tidak bisa merekam, pembunuh itu sudah menutup cctv di bagian sana. Ini sudah ia rencanakan dengan matang."

"Dia orang yang sehari-hari berinteraksi denganku?"

Aldi mengangkat kedua bahunya pelan, "Bisa jadi." Ia kembali menyimpan ponsel di jas putihnya. "Sudah makan?"

"Sudah, tadi Jihan yang menyuapiku."

"Kamu tidak ingin aku suapi juga?"

"Dasar gila." Aku memalingkan muka dengan cepat berharap Aldi tidak melihat wajahku yang mungkin sudah memerah ini.

"Hahaha aku kan cuma bertanya, tidak usah salah tingkah seperti itu."

"Pergilah, jangan menggangguku."

"Nanti, tunggu Jihan datang baru aku pergi." Ia mengambil buku di meja lalu membacanya. Sedangkan aku masih merasakan panas di wajah karena ucapannya tadi, 'Hanya ucapan sepele seperti itu dan langsung salah tingkah? Ayolah, Meira. Jangan baperan jadi cewek.' Kupukul pelan kepalaku berulang kali.

"Hei, ada apa denganmu? Apa kerasukan Sagita lagi?" Aldi menutup buku dan beranjak duduk di pinggir ranjang, tanganku ditahan olehnya. Ia menatap wajahku serius.

"Tidak, aku baik-baik saja." Kusingkirkan tangannya cepat.

"Oh ... untung belum kupeluk," balasnya enteng dengan wajah tak berdosa.

"Dasar mupeng! Pergi sana, jangan dekat-dekat," usirku mendorong badannya menjauh.

"Jangan terlalu banyak gerak, lukamu belum sembuh betul." Ia duduk lagi di kursi dan mengambil buku ya ia baca tadi.

"Al ...," panggilku pelan.

"Hmm," balasnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca.

"Apa kamu sangat mencintai Sagita?"

"Tentu saja."

"Sampai sekarang?"

"Iya."

"Apa ada orang yang menentang hubungan kalian dulu? Misalnya teman atau keluargamu mungkin." Dia terdiam sejenak, memandangku sekilas lalu kembali membaca bukunya lagi.

"Ada."

"Siapa?"

"Ayahku, tapi beliau sudah meninggal satu tahun silam."

"Oh, Maaf. Dan apa kamu tidak mencoba membuka hati untuk orang lain?"

"Sedang berusaha," balasnya, "Ada apa? Apa kamu ingin menggantikan posisi Sagita?" Ia mengalihkan pandangan ke arahku dengan satu alis terangkat.

"Percaya dirimu sungguh tinggi!" Aku kembali memalingkan mukaku.

"Hahaha lalu kenapa tanya-tanya seperti itu? Sangat terlihat kalau kamu diam-diam menyukaiku, ditambah wajahmu yang memerah seperti kepiting rebus."

Aku memegang wajahku. Ah, ternyata dia mengetahuinya. Aku menggigit bibit bawahku pelan menahan malu.

Terdengar nada panggilan dari ponsel Aldi, "Halo? Ya ... Ada apa? Aku masih di rumah sakit sekarang. Apa? Siapa? Jihan? Kau serius? Baik, aku ke sana, siapkan ruang operasi sekarang!" Suara Aldi meninggi, mimik wajah yang tadinya santai tiba-tiba berubah menjadi serius.

"Ada apa? Kenapa kamu menyebut nama Jihan?" Aku panik mendengar nama Jihan disebut terlebih wajah Aldi yang terlihat sangat kaget dan khawatir.

"Jihan ... dia melompat dari lantai empat di rumah sakit ini."

Deg!

"Apa maksudmu? Kau jangan berbohong, Al! Ini tidak lucu!"

"Tenanglah, Meira. Perhatikan kesehatanmu, aku dan tim-ku akan mengoperasinya sekarang, dia mengalami pendarahan hebat dan patah tulang. Aku akan kembali lagi ke sini dan memberitahu keadaannya kepadamu."

Aku menangis, entah kenapa aku sangat takut kehilangan Jihan, wajah manisnya saat tersenyum dan membayangkan tingkah konyolnya membuatku semakin terisak. "Jihan ... Ada apa denganmu?" lirihku.

"Jangan menangis, berdoalah untuk keselamatannya. Aku akan mengunci pintu kamarmu dari luar, karena aku yakin Jihan bukan melompat karena kehendaknya sendiri dan aku merasa nyawamu juga terancam. Jangan bergerak dan melakukan apapun sebelum aku kembali, Oke?" Aldi memegang kedua pundaku erat, ia mencoba menenangkan dan memberiku kekuatan.

"Iya, tolong selamatkan Jihan, Al." Tanganku menggenggam tangannya erat.

"Aku bukan Tuhan, Meira. Tapi aku dan tim-ku akan berusaha dengan semaksimal mungkin, doakan aku dan juga doakan Jihan," ucapnya lembut. "Aku pergi dulu," Ia mengelus kepalaku lembut lalu melangkah pergi keluar kamar. Ia memandangku sebentar sebelum akhirnya benar-benar mengunciku dari luar.

---

Aku berkali-kali melihat jam di dinding, sudah empat jam tapi Aldi tak kunjung kembali.

Krek! Krek! Krek!

Gagang pintu kamarku bergerak, ada bayangan hitam terlihat dari kaca buram di pintu bagian atas.

Krek! Krek! Krek!

Gagang pintu itu bergerak lagi semakin keras dan pintu itu berguncang seperti didorong paksa dari luar. "Aldi, kamukah itu?" teriakku. Tak ada jawaban.

Gagang pintu berhenti bergerak, bayangan hitam masih terlihat di sana. Aku turun dari ranjang, mendorong tiang infus mendekati pintu. Kudekatkan mataku ke lubang kunci, ada sosok berbaju hitam berdiri di sana dengan seutas tali berwarna merah. Dengan cepat melangkah mundur, tali merah itu sama seperti yang ada di mimpiku. Apakah ini juga orang yang sama dengan yang ada di gudang data?

Bugh!

Terdengar pintu itu didorong paksa, aku semakin gugup, segera kutekan bel yang terhubung dengan ruang perawat. Kutekan lagi berulang-ulang, tapi kenapa tidak ada yang datang? Ah, pasti orang ini sudah memutus hubungannya. Apa yang harus kulakukan sekarang? Kulepas paksa selang infusku dan berlari ke kamar mandi lalu menguncinya rapat-rapat.

Darah keluar dari punggung tangan bekas infus yang kucabut tadi segera kubersihkan dengan lengan bajuku. Dimana semua orang? Apa tidak ada orang di luar? Sampai ada seseorang yang menimbulkan suara gaduh tapi tidak ada yang menegur.

Brak!

Sepertinya pintu itu berhasil dibuka, langkah kakinya terdengar menyeramkan. Aku menahan nafas melawan ketakutan, kurapatkan kaki ketubuh dan berjongkok di sudut kamar mandi. Langkah kakinya semakin terdengar jelas, dia sepertinya berjalan ke arah kamar mandi.

Gagang pintu kamar mandi bergerak, semakin lama semakin keras dan BRAK! dengan sekali hentak pintu kamar mandi terbuka, aku menggigil ketakutan, menelan saliva berkali-kali mencoba menenangkan diri.

Sosok tubuh tinggi tegap berbalut pakaian serba hitam melangkah masuk, tapi kenapa ia tak melihatku? Padahal jelas-jelas aku berada di depannya. Matanya menyeledik keseluruh sudut kamar mandi. Ia benar-benar tidak melihatku? Aneh.

Perlahan ia melangkah keluar, aku yang bingung terdiam sesaat mencoba mencerna apa yang terjadi, "Kamu aman sekarang." Sagita tiba-tiba berdiri di depanku.

"Sagita?"

"Cepatlah pergi dari sini, Meira. Atau ia akan kembali lagi ke sini dan menemukanmu.

"Tapi aku harus ke mana?"

"Pergilah ke rumah Bu Tatik. Cepatlah! Waktumu tak banyak, aku hanya bisa melindungimu sebentar saja. Ganti bajumu dan pakai syal merahku ini." Aku mengangguk dan segera berganti pakaian.

"Bagaimana dengan Jihan?" Aku berjalan keluar kamar sesantai mungkin agar tak terlihat mencurigakan.

"Dia kritis, orang itu mendorong Jihan."

"Orang siapa yang kamu maksud?"

"Orang yang sama dengan yang membunuhku dan yang akan membunuhmu."

"Jadi kamu sudah tahu siapa dia?"

"Belum, wajah dan tubuhnya selalu terhalang oleh mahkluk ghaib yang melindunginya di penglihatanku. Dia tidak bermain sendiri, dia bermain dengan makhluk ghaib yang kejam dan ... Aaarrrgghhh!"

"Sagita! Ada apa?" Aku ingin meraih tubuh Sagita tapi tak bisa, banyak darah keluar dari mulutnya.

"Pergi Meira, mereka sudah mengetahui kehadiranku di sini. Cepat lari dan pergi ke rumah Bu Tatik!" perintahnya sebelum akhirnya menghilang.

Ini sudah larut malam, mana mungkin ada kendaraan di jam segini. Aku berlari kencang keluar rumah sakit, beberapa orang melihatku heran yang berlarian di dalam rumah sakit, sampai terdengar suara peluit security mencoba menahanku tapi aku tak peduli.

Aku terus berlari tanpa alas kaki, menembus gelapnya malam dan darah yang keluar dari leher dan tanganku.

"Berhenti!" Aku berlari sambil menoleh kebelakang, ada yang mengejarku, tidak jelas siapa di sana, karena kondisi yang gelap. Aku terus berlari ke arah Kosan, jarak yang biasanya tak begitu jauh kini terasa sangat jauh bagiku. Nafasku tersenggal, kepalaku mulai terasa berat. Kau harus kuat, Meira! Semangatku.

Bugh!

"Aaarrrggghh!" Aku tersandung, tubuhku terjungkal ke depan, aku merasakan perih di ujung kaki, sepertinya kuku jempol kakiku terlepas karena batu ini. Aku mencoba berdiri dan berjalan dengan tertatih, ini sangat sakit. Darah keluar deras dari jempok kakiku.

Srettt!!

Ada yang menyergap dari belakang, menahan tubuh dengan erat dan membekap mulutku. Sekuat tenaga aku meronta, "Diam! Atau kamu akan mati disini!" gertaknya lalu menyeretku paksa ke tempat yang lebih sepi dan gelap.

"Ya Alloh, ada apalagi ini?" ucapku lemah.

Bersambung...

Spoiler 7:
Ada yang menyergapku dari belakang, menahan tubuh dengan erat dan membekap mulutku. Sekuat tenaga aku meronta, "Diam! Atau kamu akan mati disini!" gertaknya lalu menyeretku paksa ke tempat yang lebih sepi dan gelap.

"Ya Alloh, ada apalagi ini? Tolong aku ... " lirihku dalam hati.

Ia terus menyeretku sampai ke taman yang sepi dengan pencahayaan yang sangat minim.

"Jangan teriak atau pisau ini akan menembus lehermu!" ancamnya dengan menempelkan benda tajam itu dileherku. Aku mengangguk pelan. Perlahan ia melepas bungkaman mulutku lalu memutar badanku menghadapnya, mata kami beradu, walau hanya matanya yang terlihat dari penutup kain itu tapi sepertinya aku pernah melihat tatapan sendu ini, tapi di mana?

"Arrrggh!" Tiba-tiba tanganya mencekik leherku erat.

"Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini! Tapi tindakanmu sungguh sangat mengancamku, mau tidak mau, aku harus membunuhmu dan segeralah menyusul Sagita!" Suaranya serak dan berat, sepertinya ia perokok berat, tanganku mencoba melepaskan cengkraman dileherku, terlihat ada tato di tangan kanannya seperti huruf A. Siapa dia sebenarnya? Nafasku mulai tersendat, tenaga orang ini sangat kuat.

Bugh!!

Dengan sisa-sisa tenaga, aku menendang selangkangannya, berhasil! Cengkramannya terlepas dan ia menjauh, merintih kesakitan. Tak kusia-siakan kesempatan ini, aku segera berlari dengan tertatih menahan nyeri di ujung kaki dan leherku.

"Berhenti!" Ia berteriak tapi tidak berusaha mengejar, mungkin masih kesakitan gara-gara tendanganku tadi.

Aku terus berlari, tak peduli batu kerikil dan ranting pohon yang melukai kakiku. Aku harus segera menuju jalan raya dan meminta bantuan.

Brak!

"Aaarrrgh!" Tubuhku terpental ke tengah jalan, ada sepeda motor yang menabrakku. Walau tak begitu keras tapi badanku rasanya remuk redam, sial! karena terlalu fokus berlari aku sampai tidak memperhatikan sekelilingku.

"Mbak baik-baik saja?" Aku mendongak, ada wanita paruh baya berusaha membantuku berdiri.

"Maaf, saya terburu-buru tadi, jadi tidak melihat kalau Mbak keluar dari gang sana." Oh ternyata beliau yang menabrakku. "Ada denganmu? Kenapa berdarah seperti ini?" Terlihat wajahnya yang bingung dan takut.

Aku perlahan berdiri, meringis kesakitan. "Bisa tolong antar saya ke Kosan yang ada di ujung sana, Bu? Saya korban penculikan." Beliau menuntunku berjalan tertatih ke tepi jalan.

"Astaga, baiklah. Tapi apa tidak mau ke rumah sakit saja?" Aku menggeleng cepat. Beliau mulai menyalakan motornya dan dengan cepat aku membonceng, sekilas kulirik kakiku yang sudah berlumur darah.

Hanya butuh 10 menit untuk sampai ke Kosan. Dengan bantuan beliau, aku dituntun ke gerbang sampai Bu Tatik keluar dan terkejut melihat penampilanku. Ibu tadi menceritakan kronologi saat ia menabrakku, kemudian beliau berpamitan, tak lupa aku ucapkan banyak terima kasih kepadanya.

"Istirahatlah dulu, Meira. Akan aku buatkan teh hangat untukmu." Bu Tatik berdiri dengan ember dan kain yang penuh dengan darah, beliau membantuku membersihkan luka-luka ditubuhku.

Aku mengangguk dan mulai mengedarkan pandanganku di sekitar, banyak foto Aldi dan Bu Tatik di ruang tamu ini. Tapi kenapa hanya mereka berdua? Bukankah Aldi bilang kalau Ayahnya baru saja meninggal? Kenapa tidak ada fotonya? Ah, mungkin karena mereka akan terus bersedih saat melihat wajah almarhum.

Dengan perlahan aku merebahkan tubuh di sofa panjang ini. Berusaha memejamkan mata tapi tidak bisa, bayangan Jihan menganggu pikiranku "Jihan, semoga kamu baik-baik saja," lirihku sambil menarik napas panjang.

---

"Meira ... Meira ... " Aku sayup-sayup mendengar seseorang memanggilku, aku mengerjapkan mata, silau ... sinar matahari mengganggu pandangan mataku. Matahari? Ini sudah pagi? Aku segera bangun dan sangat terkejut melihat Aldi berada di sampingku. Aku melihat sekeliling, di kamar siapa ini? Dan kenapa bajuku sudah berbeda?

"Biasa saja wajahmu, jangan bingung seperti itu. Ini kamarku dan yang menggantikan bajumu, siapa lagi kalau bukan aku," ucapnya santai.

Bugh!

Aku melempar bantal ke arahnya, "Hahaha bercanda, ibuku yang menggantikanmu. Duduklah dengan santai, ayo sarapan dulu." Ia mengambil mangkuk berisi bubur ayam di meja samping tempat tidur.

"Aku bisa makan sendiri," ucapku mengambil alih mangkuk itu.

"Eits, lihat tanganmu. Biarkan kali ini aku berperan sebagai perawat untuk pasienku."

Aku melihat tanganku yang diperban, begitu pula kaki serta leherku, "Kau yang melakukan ini?"

"Tentu saja, siapa lagi? Dan kamu mau tahu, walaupun badanmu terlihat kurus dari luar tapi ternyata sangat berat. Mungkin terlalu banyak dosa yang kamu lakukan sampai jadi berat seperti itu."

Aku memutar bola mataku malas, "Bagaimana keadaan Jihan?"

"Buka dulu mulutmu, aaa ... Operasinya lancar, hanya saja dia masih belum sadar saat aku akan pulang tadi, tulang leher dan kakinya patah." Aldi mulai menyuapiku dengan sangat telaten.

"Siapa orang yang melakukan perbuatan kejam itu? Apa tidak ada cctv yang merekamnya?"

"Ini sangat aneh, Meira. Semua cctv yang terhubung ke lantai di mana Jihan melompat, mati total. Dia benar-benar sudah merencanakan ini dengan matang dan mungkin ada keterlibatan orang dalam disini. Tapi polisi sudah menyelidikinya tadi."

"Al, apa aku bisa bertemu Jihan?"

"Bisa, tapi tidak sekarang, istirahatlah dulu dan biarkan Jihan istirahat juga. Tadi orang tuanya sudah datang ke rumah sakit."

"Aku ... entah kenapa merasa bersalah di sini," ucapku lirih.

"Ini semua sudah takdir, santai saja ... doakan agar masalah ini cepat selesai dan Jihan segera sembuh."

"Iya."

"Buka mulutmu lagi, aaa ... "

"Sudah, aku sudah kenyang." Aku memalingkan mukaku saat Aldi mendekatkan sendok ke mulut.

"Jangan seperti anak kecil, makan yang banyak agar cepat sehat!" suaranya meninggi.

"Jangan menggertakku!"

"Makanya nurut! Makan sampai habis!"

"Jangan mengaturku!"

"Aku tidak mengaturmu! Aku hanya ... Aku ... hanya ... mengkhawatirkanmu ...," ucapnya tergagap.

"Kenapa mengkhawatirkanku? memang aku ini istrimu? Huft! sini, aku bisa makan sendiri!" Aku merebut kasar mangkuk dari tangan Aldi. Hatiku sedang dalam keadaan tidak baik, mataku mulai mengembun, sudah siap mengeluarkan air mata.

Terdengar Aldi menarik nafas panjang, "Maafkan aku," tangannya bergerak ke pucuk kepalaku lalu diusapnya pelan.

Aku tak menghiraukannya dan mengaduk-aduk bubur itu dengan perlahan, air mata mulai mengalir di pipi. Ia mengambil alih mangkuk di tanganku dan meletakkannya di meja.

Daguku disentuh dan didongakkannya pelan, mau tidak mau mata kami beradu, dengan lembut ia menghapus air mata di pipiku dengan tangannya. Ada ketulusan di kedua mata itu, tapi ... mata ini ... Aku tertegun sebentar. Otakku mulai merangkai puzzle yang sedikit-sedikit aku pahami.

"Aku ingin bertemu Jihan," ucapku parau.

Aldi diam menatapku sesaat lalu mendesah panjang, "Lihat kondisimu, Meira. Dan nyawamu sungguh dalam keadaan terancam di luar sana. Bagaimana kalau ...."

"Aku tidak peduli! Aku hanya ingin bertemu Jihan!" gertakku, mataku kembali mengembun.

Aldi menatapku tajam lalu ia berdiri, mengambil jaket dan memberikannya padaku. "Untuk apa?" tanyaku bingung.

"Katanya mau bertemu, Jihan. Bersiaplah, aku akan menunggu di luar." Ia memberikan jaket kepadaku lalu berjalan ke luar kamar.

"Al ... terima kasih." Langkahnya terhenti, ia membalikkan badan dengan kedua tangan ia masukkan ke saku celana, ia menatapku dalam lalu tersenyum manis.

"Apapun permintaanmu akan aku kabulkan, asal jangan pernah sekali-sekali menangis seperti tadi di hadapanku. Cepatlah bersiap." Ia kembali melangkah dan keluar dari kamar yang memang sengaja tak ditutup ini.

---

"Jangan jauh-jauh dariku," pesannya saat kami menginjakkan kaki di rumah sakit. Aku mengenakan jaket, kaca mata hitam dan topi, semua permintaan Aldi, entahlah apa maksudnya.

Tangan kanannya mengenggam tangan kiriku dengan erat, beberapa pasang mata melihat kami, semoga mereka tidak berfikir yang aneh-aneh.

"Pakai baju ini dan jangan lama-lama." Aldi menyerahkan kain berwarna hijau tua dan masker sebelum aku masuk ke ruangan Jihan. "Aku akan menunggu di luar sini." Aku mengangguk lalu perlahan masuk ke kamar inap Jihan.

Tubuhku terasa sakit saat melihat mata gadis yang biasanya ceria ini terpejam dengan selang infus dan alat bantu pernafasan terpasang di sana.

"Jihan ... aku datang," ucapku lirih, kugenggam tangannya lembut. "Maafkan aku, jika semua ini gara-gara aku. Cepatlah bangun, aku masih ada hutang untuk mentraktirmu nasi padang di dekat Kosan."

Tak ada jawaban, mata itu masih terpejam. Aku kembali mengelus tangannya lembut, "Buka matamu, Jihan. Aku tahu kamu wanita yang sangat kuat." Air mataku tak kuasa kutahan.

Aku merasa ada pergerakkan, segera kulihat tangan Jihan, benar! Jari jemarinya bergerak lemah dan mata yang tertutup itu mulai mengerjap perlahan. Aku ingin berlari memanggil Aldi tapi suara Jihan menghentikanku, "Me ... i ... ra," ucapnya lemah hampir tak terdengar.

Aku melepas alat bantu pernafasannya perlahan, ada senyum samar di bibir gadis ini, "Jihan, kamu sudah bangun? Aku panggilkan Aldi dulu ya." Ia menggeleng lemah. Tangannya bergerak seperti mengisyaratkan aku untuk mendekat.

Kudekatkan wajahku ke mulutnya, "Ja ... u ... hi ... Al ... di." Aku memandangnya kaget.

"Apa maksudmu?" Kutautkan alisku.

"Per ... gi, da ... ri kos, ce ... pat," ucapnya terbata-bata. "Ja .. uh .. i Al ... di ..." imbuhnya lagi sebelum akhirnya nafasnya mulai tersenggal, aku yang panik dengan cepat memasang alat bantu pernafasannya dan segera berlari memanggil Aldi di luar.

"Tunggulah, di sini." Aldi memanggil beberapa perawat dan segera masuk ke dalam kamar Jihan.

Aku duduk lemas di kursi, memikirkan kata-kata Jihan tadi. "Kenapa aku harus menjauhi Aldi?" Aku sungguh bingung dengan ucapan Jihan.

Dari arah lain, terlihat beberapa dokter berjalan tergesa dan masuk keruangan Jihan.

Brak!

Salah satu stetoskop jatuh, aku segera mengambil dan memberikannya pada Dokter yang mengenakan masker itu, sekilas lengan bajunya tersingkap ada tato yang sama seperti malam itu. Aku terkejut melihatnya ikut masuk ke dalam ruangan Jihan. Ia melihatku sekilas sebelum akhirnya menutup pintu dan tirai dengan keras.

"Sial! Nyawa Jihan terancam!" Aku berkali-kali mengetuk pintu dan memanggil nama Aldi tapi kenapa tidak ada jawaban. Aku harus cari cara lain untuk membuka pintu ini, aku mondar mandir mencari sesuatu untuk membuka pintu itu.

"Meira ... " Aku menoleh dan terkejut melihat Sagita dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

"Ada apa denganmu? Kenapa banyak lebam dan darah di tubuhmu?"

"Pergi dari sini, Meira. Cepat pergi! Nyawamu terancam! Aku sudah tau siapa pembuhunku dan ia akan menghabisimu sebentar lagi. Cepat pergi ... Aaarrrggghh!" Sagita memegangi perutnya kuat-kuat, mulutnya mengeluarkan darah. Ia memandangku sesaat dengan mata yang mengisyaratkan untuk cepat menyuruhku pergi, lalu ia menghilang dari hadapanku.

"Sagita! Sagita!" teriakku.

"Sudah berpamitan dengan Sagita?" Aku terdiam, aku menelan saliva kuat-kuat, aku mengenal suara itu. Tanpa menoleh aku bersiap akan berlari, tapi sepertinya ia mengetahui niatku untuk kabur darinya.

"Yakin mau lari, setelah mendengar ini ... "

"Lepaskan aku! Siapa kalian! Lepaskan aku!"

Ia memutar sebuah rekaman dan itu adalah suara ayahku. Dia benar-benar orang yang sangat berbahaya rupanya. Aku yang masih diam mematung kemudian membalikkan badan menghadapnya, "Aku sudah tahu siapa kamu sebenarnya!" gertakku. "Aktingmu sangat hebat!" imbuhku dengan menatapnya tajam.

"Kau juga sangat hebat, sama seperti Sagita. Dan mungkin, tadi untuk terkahir kalinya kamu bertemu dengan Sagita," ucapnya dengan suara seraknya.

Bersambung ...

Spoiler 8:
"Kamu juga sangat hebat, sama seperti Sagita. Dan mungkin, tadi untuk terakhir kalinya kamu bertemu dengan Sagita," ucapnya dengan suara serak.

Wajahnya masih tertutup masker dan badan masih mengenakan jas dokter, kedua tangan ia masukkan ke saku jas. Perlahan tangan kanannya tergerak mengeluarkan benda berwarna silver yang terlihat seperti pisau lipat.

"Aku yakin kamu sudah tahu benda apa yang kupegang ini, kalau memang mau Ayahmu selamat segera ikuti aku," ucapnya dengan berjalan melewatiku, bahu kami bersenggolan keras.

Aku menarik napas panjang, entah harus memutar badan dan mengikutinya atau berlari ke ruangan Jihan dan melihat keadaannya.

"Temanmu itu baik-baik saja, dia belum mati." Suaranya masih terdengar dibelakang, ia sepertinya tahu apa yang ada dipikirkanku. "Cepat, waktumu tidak banyak."

Dengan terpaksa aku berbalik dan berjalan mengikuti langkahnya, ada yang aneh dari sosok di depanku ini. Baunya ... mirip dengan parfum yang sering dipakai Jihan. Aku terus berjalan mengikutinya dan memperhatikan gerak-geriknya.

Bruk!

Dia berhenti mendadak, badan kami bertabrakan. "Melamun?" tanyanya sambil membalikkan badan ke arahku.

Aku mengusap hidungku pelan, namun seketika mataku terbelalak melihat dimana kami berdiri sekarang 'Kamar Jenazah'. Aku memandang pria tinggi ini dengan tatapan bingung "Apa maksudnya?"

"Masuk," ucapnya.

"Kamu gila," aku berjalan mundur perlahan.

"Aku bilang masuk!" Dia menarik tubuh, mendorongku masuk secara paksa dan dihempaskannya ke lantai, aku bergidik ngeri, hawa disini sangat dingin. Banyak ranjang yang tertutup kain putih yang berisikan mayat.

Ia melepas jas putih dan melemparnya sembarang lalu berjalan mendekatiku. "Sudah siap menjadi salah satu penghuni di sini?"

"Apa sebenarnya masalahmu?"

"Kamu," ucapnya sambil beridiri dan duduk di salah satu ranjang yang masih kosong. "Dan ini, akan menjadi tempat tidurmu sebentar lagi." Ia menepuk-nepuk ranjang itu dengan pelan lalu turun yang berjalan mendekat ke arahku.

Terdengar suara ponsel berdering, ia menghentikan langkahnya, "Ya, bagaimana? Payah! Ngurus cewek lemah kayak dia aja nggak bisa! Sial, aku segera ke sana!" Ia terlihat marah, dengan cepat ia berdiri dan mengambil jas putih yang ia lempar tadi, tato huruf A ditangannya terlihat begitu jelas.

"Sepertinya main-main kita harus tertunda dulu, Meira. Aku ada urusan yang lebih penting, temanmu yang penyakitan itu berhasil kabur dari anak buahku."

Aku mengernyitkan dahi, "Siapa maksudmu?"

"Nanti akan kubawa ke sini lalu kita bisa bermain-main bersama." Ia berjalan semakin mendekat, tangannya bergerak mengambil sesuatu dari saku celana. Aku merangkak mundur tapi dengan cepat ia menarik rambut lalu menyeretku ke sudut ruangan dan mengempaskan tubuhku keras, kurasakan sakit di pelipis yang beradu dengan kerasnya lantai.

"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu tidak akan ke mana-mana." Ia mengikat kedua tanganku ke salah satu ranjang yang ada mayat di atasnya.

"Aldi ...." Langkahnya terhenti mendengar suaraku, "Kenapa jadi seperti ini?" tanyaku lirih. Dia masih terpaku ditempat, tangan kanannya terlihat mengepal. Tanpa menoleh, ia berjalan keluar dari ruangan ini.

Tinggalah aku sendiri di sini dengan beberapa jasad yang tak bertuan. Biasanya mereka adalah korban kecelakaan yang menunggu dijemput oleh keluarganya atau bahkan sampai berbulan-bulan berapa di sini, diawetkan, berharap ada keluarga yang menjemput dan menguburkannya.

Nyeri di leher dan kakiku semakin tak karuan ditambah dengan suhu dingin yang ada di ruangan ini. Kuedarkan pandangan kesekitar, mungkin beberapa saat lagi aku akan menyusul mereka.

Klek! Klek!

Gagang pintu bergerak, seperti ada yang ingin membuka. Ada deru napas yang terdengar sama-samar di sana, gagang pintu itu bergerak lagi.

"Siapa!" teriakku. Tak ada sahutan, tapi gagang pintu masih bergerak. Perlahan aku mencoba berdiri, dengan kedua tangan terikat di salah satu kaki ranjang.

Dengan badan setengah membungkuk, kutarik ranjang berisi mayat ini mendekat ke arah pintu. "Berat sekali mayat ini, dosanya terlalu banyak!" umpatku sambil terus menarik ranjang ini mendekati pintu.

"Siapa di luar?" tanyaku saat hampir mendekati pintu, tenagaku hampir habis menarik ranjang dengan badan membungkuk seperti ini.

"Meira, kau di dalam?" Suara perempuan yang sepertinya kukenal.

"Siapa di sana?" tanyaku. Tak ada jawaban lagi, terdengar langkah kaki yang berlari kian menjauh. Dahiku mengeryit, mencoba mengenali suara wanita tadi.

Brak! Brak!

Terdengar pintu dibuka paksa oleh seseorang, aku yang terkejut mendengar suara benturan itu seketika terjungkal kebelakang, menyebabkan ranjang yang ada di sampingku ikut bergerak dan mayat di atasnya terguling lalu jatuh tepat di depanku.

"Huaaa!" teriakku histeris lalu segera bergerak menjauh tapi sial semakin bergerak, mayat itu semakin terguling mendekat padaku. Bau kapur barus dan formalin menyengat dari tubuhnya, dengan hidung yang tersumpal kapas ia tergolek lemah di sampingku. Sangat dekat, sampai aku mampu merasakan kulitnya yang dingin.

"Meira! Ada apa?" Aku menoleh, melihat pintu yang sudah terbuka dan sosok wanita yang berlari ke arahku.

"Jessica, kamu ..."

"Ayo bangun dan cepat pergi dari sini," ucapnya berusaha menyingkirkan mayat itu dan membantu melepaskan ikatan tali ini.

"Jes, kamu tahu siapa dalang dibalik semua ini?" tanyaku menyelidik.

"Iya, kita bicarakan nanti dan ayo cepat kita harus pergi dari sini," Jessica menarikku tergesa setelah ikatan ditanganku terbuka.

Kami berjalan beriringan, langkahku tak bisa secepat biasanya, dengan luka di kaki membuatku mengalami kesulitan berjalan. Aku melihat ada lingkaran hitam di leher Jessica, wajah pucatnya kini semakin pucat. Tangan kurus itu menggenggam tanganku erat dan mata sipitnya selalu mengawasi sekitar, mungkin ia memastikan kalau kita berada di posisi aman.

"Tunggu! Itu Bu Tatik," ucapku menghentikan langkah Jessica. Ia mengikuti arah mataku, terlihat Bu Tatik berjalan dengan wajah cemas di lantai dua, tangan kurus itu semakin meremas tangaku erat lalu ditariknya cepat keluar dari rumah sakit.

Setelah kami berada di luar rumah sakit, "Larilah, Meira. Pergi sejauh-jauhnya dari kota ini."

"Apa maksudmu? Ayo kita pergi bersama," ucapku bingung.

"Aku tidak bisa, tugasku hanya mengantarmu sampai keluar dari rumah sakit ini saja." Ia berjalan mundur dan berlari menjauh dariku.

"Jessica! Tunggu!"

Tiiin! Tiiin!

Tubuhku terlempar kebelakang, seperti ada yang mendorong, aku terkejut dengan mobil yang tiba-tiba saja melaju kencang ke arahku. "Woi, Mbak. Hati-hati kalau menyebrang!" teriak pengemudi mobil itu.

"Ma - maaf," ucapku lirih lalu mencoba berdiri dengan menahan siku kanan yang terasa perih. Ah, pantas saja perih, ada luka robek disana. Mataku mencari sosok Jessica yang kini sudah hilang dari pandangan.

"Mencari seseorang?" Sial! Suara itu. Aku memejamkan mata, apa yang harus aku lakukan?

"Mau ikut dengan cara halus atau kasar?" Bau tembakau tercium jelas dari hembusan napasnya.

Aku memutar badan menghadapnya. Pakaian serba hitam, hoodie hitam dengan topi yang menutup rambutnya tak lupa kain hitam yang masih setia menyamarkan wajahnya. "Aku tidak mau ikut lagi denganmu!" gertakku.

"Woo ... sudah berani rupanya, apa kamu ... aw! Sial!" Ia merintih kesakitan memegangi selangkangan yang kutendang dengan keras. "Jangan lari!" teriaknya, aku terus berlari semakin jauh dan menghilang dari pandangannya.

Aku berlari menyusuri jalan raya tanpa alas kaki, entahlah aku merasa lebih cepat berlari tanpa alas kaki, napasku mulai terengah-engah, merasakan nyeri yang luar biasa di ujung kaki dan leher. Kaki ini terus berlari, setidaknya aku harus ke kosan untuk mengambil uang lalu segera pergi menemui ayahku.

Tak peduli orang-orang menatapku, aku terus berlari menembus keramaian di jalan. "Sebentar lagi sampai, Meira. Teruslah berlari, jangan berhenti!" Entah dari mana aku mendengar bisikan itu, tapi itu membuatku menjadi semakin semangat menggerakkan kaki. Aku semakin kuat berlari, keringat membanjiri tubuhku.

Ah, bangunan berwarna abu-abu itu mulai terlihat dari sini, tapi ... Kenapa banyak polisi di sana? Aku memperlambat langkahku, mencari tempat sembunyi sementara, sampai akhirnya beberapa polisi itu berpamitan dan pergi dari sana. Aku tidak mau ditanya macam-macam jika mereka melihatku dengan keadaan yang kacau seperti ini.

Kulangkahkan kakiku memasuki kosan ini, ada garis polisi di kamar nomor tujuh belas, bukankah itu kamar Jessica?

"Meira, astaga! Ada apa denganmu?" Mila berlari mendekatiku.

"Aku ... mengalami kecelakaan kecil kemarin," jawabku. "Ada apa dengan kamar Jessica? Kenapa ada garis polisi?"

Mila tiba-tiba memelukku erat, "Jessica ... Dia sudah meninggal."

Deg!

"Kapan?" Aku menarik Mila dan memegang bahunya erat, mata gadis ini sudah berlinang air mata.

"Tiga jam yang lalu."

"Jangan bercanda!" bentakku.

"Apa wajahku terlihat sedang bercanda," balasnya dengan suara parau.

"Tapi kenapa?"

"Dia ... dia gantung diri." Mataku membulat mendengar ucapan Mila.

"Aku mau melihat kamarnya." Aku berjalan cepat melewati Mila.

"Kamar itu dikunci Bu Tatik, tidak ada yang boleh masuk sampai kasus penyelidikan selesai," sergah Mila menahan tanganku.

"Di mana Bu Tatik sekarang?"

"Beliau ada di rumah sakit mengantar Jessica dan belum kembali," jawab Mila.

"Aku tidak percaya dia bunuh diri. Dia pasti dibunuh sama seperti Sagita!" teriakku frustasi. Badanku lemas terduduk di tanah. Bagaimana bisa dia meninggal? Sedangkan beberapa menit yang lalu ia masih menolongku terlepas dari Pria brengsek itu.

"Meira, kamu baik-baik saja?" Mila mengelus lenganku pelan. Aku menatapnya pilu, air mata kami sama-sama keluar.

"Dia pasti dibunuh, Mila. Aku yakin itu," ucapku lirih.

"Aku tidak tahu, Meira. Tadi pagi saat Jessica pulang dari rumah sakit, ia selalu berada di kamar sampai akhirnya saat orang tuanya datang ingin menunjunginya ... dia ... dia sudah ...."

"Tadi pagi? Bukankah Jessica keluar dari rumah sakitnya kemarin?"

"Tidak, dia baru keluar tadi pagi."

"Tapi kata Jihan ...."

"Jihan? Jihan sedang pulang kampung."

"Pulang kampung?" tanyaku bingung.

"Iya, sudah tiga hari ini dia pulang kampung. Apa dia tidak berpamitan denganmu?" Aku mentautkan alis, ada apalagi ini? Jadi, Mila tidak tahu kalau Jihan berada di rumah sakit sekarang?

"Aku lelah, aku ingin beristirahat dulu," pamitku pada Mila. Ia membantuku berdiri dan menemaniku masuk ke kamar.

"Gantilah pakaianmu dan beristirahatlah. Kalau butuh apa-apa panggil aku," pesannya. Aku mengangguk dan menutup pintu perlahan.

Aku berdiri di depan cermin besar yang berada di almari. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku pada bayangan di cermin itu. "Beri aku sedikit jawaban atas kasus rumit ini. Aku sangat lelah, banyak nyawa yang terancam di sini." Kututup mukaku, sedetik kemudian bahuku terguncang, tangisan ini tak dapat lagi kubendung.

Tok! Tok! Tok!

Segera kuhapus air mataku dan berjalan membuka pintu, sosok pria membalikkan badannya ke arahku, "Aldi ... kamu ...." Aku terkejut melihatnya, segera kututup lagi pintu ini tapi tertahan oleh kaki yang ia selipkan di sela-sela pintu.

"Ada apa denganmu? Kenapa begitu takut melihatku?" teriaknya.

"Pergilah! Jangan ganggu aku!" balasku.

"Tidak! Aku mencarimu dari tadi dan setelah menemukanmu aku harus pergi? Jangan gila, buka pintu ini atau aku akan merusakknya!" Aku masih berusaha menahan pintu itu sedangkan Aldi mendorong dari luar dengan sangat kuat.

Brak!

Pintu itu terhempas bersama dengan tubuhku, "Maafkan aku ... kamu baik-baik saja?" Ia berjalan hendak membantuku berdiri.

"Jangan menyentuhku!" cegahku.

"Ada apa sebenarnya denganmu? Tadi menghilang begitu saja dan sekarang bersikap aneh seperti ini," ucapnya bingung.

Aku menatapnya sesaat, tatapan mata itu sama dengan pemilik mata yang memaksaku masuk ke kamar jenazah tapi ... Aroma tubuhnya berbeda, kudekatkan wajah dan membau aroma tubuhnya, mata kami beradu, alisnya bertautan, bingung melihat tingkahku.

"Ada apa? Kenapa mengendus-endus seperti kucing?" tanyanya.

Tanganku bergerak membuka lengan kemejanya, "Hei, Meira. Apa yang kamu lakukan? Jangan sekarang, ini masih siang."

Aku memutar bola mata malas, "Diamlah!" gertakku. Segera aku mensingsingkan lengan bajunya, tidak ada tato apapun di sini, di lengan satunya juga tidak ada.

Aku menatap matanya tajam, "Katakan padaku, apa kamu punya kembaran?"

Matanya membulat, dia terkejut mendengar pertanyaanku, "Kenapa bertanya seperti itu?" Ia mengalihkan pandangannya dan berjalan menjauh dariku.

"Katakan sejujurnya padaku, Al. Apa kamu punya kembaran?" Aku melangkah dan berdiri tepat di depannya. Dia terdiam sesaat, kemudian menghembuskan napas panjang.

"Ya, tapi dia sudah meninggal," jawabnya pelan.

"Bohong," desisku.

"Ada apa denganmu? Kenapa jadi bertanya aneh-aneh seperti ini? Dia sudah meninggal dengan Ayahku satu setengah tahun yang lalu karena kecelakaan." Nadanya terdengar tidak bersahabat.

"Dia masih hidup," ucapku lirih.

"Jangan bercanda denganku, Meira. Tahu apa kamu tentangnya."

"Luka ditubuhku ini, dia pelakunya. Ada tato huruf A di tangan kanannya, dia seorang perokok dengan suara berat."

Aldi menatapku terkejut, "Bersumpahlah, kamu sedang tidak membohongiku." Ia memegang pucuk kepalaku.

"Untuk apa aku berbohong," aku menyingkirkan tanganya.

Nada dering ponsel Aldi berdering, ia terlihat ragu untuk mengangkatnya, aku mengambil alih ponsel itu 'Nomor dirahasiakan'. Kugeser warna hijau dilayar pipih berukuran 6" dan menekan tombol loudspeaker.

"Hallo, kembaranku Aldino Bagas Nugraha ... masih ingat denganku? Apa kamu sedang bersama dengan gadis penghuni kamar nomor 13?"

Kami saling bertatapan, suara seraknya membuatku menelan saliva dengan kuat. "Aldan ... ka - mu masih hidup?" Suara Aldi terdengar gugup.

"Tentu saja, setelah sekian lama aku menahan diri untuk tidak muncul di kehidupanmu, akhirnya dengan terpaksa aku harus berurusan denganmu dan kos-kosan sialan itu lagi. Dan itu gara-gara gadis yang sekarang ada di dekatmu!"

"Apa maumu?"

"Mauku? Tentu saja gadis itu, serahkan dia padaku, maka akan kupastikan malam ini ibu pulang dengan selamat! Kita bertemu ditempat di mana kamu melamar Sagita!"

Tut! Tut! Tut! Sambungan diputuskan sepihak.

"Kamu gila! Hallo ...! Hallo ...! Sial!" Aldi membanting ponselnya ke lantai. Ia mengusap wajahnya kasar.

"Ayo kita ke sana," Aku mengambil ponselnya dan menarik Aldi keluar kamar.

"Jangan gila!" ia menghempaskan tanganku.

"Ini masalah hidup dan mati ibumu!"

"Aku yakin dia tidak berani melukai ibu kandungnya sendiri."

"Saudara kembarmu itu psikopat, Al. Lihat luka di leherku ini, dia melakukakn ini tanpa ampun." Aku menunjuk luka di leherku. "Ayo!" Aku kembali menariknya tapi ia justru menarikku masuk ke dalam pelukannya.

"Berjanjilah untuk tetap bertahan hidup demi aku," bisiknya tepat ditelingaku. Tubuh ini tiba-tiba terasa kaku, ada getaran hebat yang mengalir ditubuhku, seakan memberi kekuatan untuk menghadapi apapun yang akan terjadi nanti.

"Iya, aku berjanji. Mari kita susun rencana dan menghadapi ini bersama," balasku dengan membalas pelukannya.

Bersambung...

Spoiler 9:
Kami berjalan bersisian, memasuki halaman cafe yang sudah terlihat sepi dan gelap. Jam menunjukkan pukul sebelas malam.

"Dulu, cafe ini milik Aldan." Aldi seperti membaca kebingungan di wajahku.

"Sekarang?"

"Setelah tahu Aldan meninggal, diganti atas namaku." Suaranya terdengar berat.

"Kita masuk lewat belakang saja." Kami berjalan ke belakang cafe.

Sepi, gelap dan ... menyeramkan bagiku.

Aldi membuka pintu dengan perlahan, kami masuk bersama. Tangannya meraba dinding mencari saklar lampu.

Klik!

"Astaghfirulloh!" Aku terperanjat. Ruangan ini berantakan dan banyak darah berceceran di lantai.

"Tenanglah." Aldi mengenggam tanganku dan menuntun ke tempat yang lebih aman.

"Kalian sudah datang?" Suara serak itu terdengar dari samping, keluarlah sosok berpakaian serba hitam. Wajahnya sangat mirip dengan pria yang berada di sampingku sekarang. Benar-benar mirip, hanya potongan rambut dan suaranya saja yang membedakan.

"Al-dan, kamu benar-benar masih hidup?" Aldi terlihat sangat terkejut. Mata mereka beradu. Sementara Aldan tersenyum sinis.

Ia merogoh saku, mengambil sebatang rokok, membakar ujungnya dan mulai mengisap kuat-kuat lalu mengepulkan asap dengan pelan. "Apa kabar Al? Aku yakin kamu selalu baik-baik saja, sama seperti dulu, sejak kecil."

"Sejak kapan kamu merokok?"

"Sejak membunuh pacarmu." Aldan menarik kursi lalu duduk dengan kaki diangkat ke meja.

"Apa maksudmu?" Aldi mulai melonggarkan genggaman tangannya. Ia terlihat terkejut.

"Apa ibu tidak cerita kepadamu siapa yang membunuh Sagita?"

"Ibu? Ibu tahu?" Alisnya bertautan.

"Tentu saja, bahkan dia yang menyuruhku pergi dari kota ini bersama Ayah." Ia kembali mengisap rokoknya lalu memandangku dari atas ke bawah.

Aldi menarikku kebelakang tubuhnya, seakan melindungi dari tatapan Aldan.

"Jangan bilang kalau ayah meninggal karena ulahmu?" Aldi berjalan mendekati Aldan.

"Aku tak sekejam itu dulu. Bagaimanapun dia adalah Ayahku, walau selalu membedakan antara kita tapi aku tetap menghormatinya." Aldan membuang putung rokok lalu menginjaknya.

"Jelaskan semua padaku, Al!" Aldi menarik kerah baju Aldan. Wajahnya memerah menahan marah.

"Santai, Bung. Duduklah dulu." Ia menghempaskan tangan Aldi, lalu di dorongnya sampai terduduk di kursi.

"Lihat gadis itu. Bukankah dia sekilas mirip dengan Sagita?" Mereka memandangku. "Kamu tahu, gara-gara dia aku kembali ke kota ini. Dia mengusik ketenanganku."

"Aku tidak melakukan apapun." Akhirnya aku memberanikan bicara.

"Kamu dan Sagita sama saja, sama-sama pembuat onar!"

"Apa maksudmu, Al? Bicara yang jelas." Aldi berdiri mensejajari Aldan.

"Kau yakin siap mendengarnya?" Aldan berjalan menjauh, menarik sesuatu dari balik meja besar. Ia menarik tubuh seseorang yang sudah bersimbah darah. Tapi dadanya masih bergerak, dia masih hidup.

"Jihan?" Tubuhku seketika merinding. Bahkan wajah cantiknya kini sudah penuh dengan darah.

"Diam di sana atau dia benar-benar akan mati sekarang!" Aldan mengeluarkan pisau dari balik kausnya. Langkahku terhenti, perlahan mundur kembali ke tempat semula.

"Dua tahun yang lalu saat sedang ke luar kota, aku tak sengaja bertemu Ayah dengan seorang gadis muda. Mereka sangat mesra. Awalnya aku kira itu kolega biasa tapi setelah kuperhatikan dengan seksama ternyata ia tunanganmu. Ini sungguh gila."

Rahang Aldi mengeras, tangannya mengepal sempurna. "Jangan bercanda!" Suaranya meninggi.

"Kalau aku bercanda, tidak mungkin ibu memotong rem mobil ayah!" Ia mengasah pisau itu perlahan di meja keramik. "Kamu bodoh atau apa? Terlalu sibuk dengan pekerjaan muliamu itu! Sedangkan aku? Cuih, mereka sama sekali tak menganggapku ada, hanya karena aku tak mengikuti perintah mereka untuk masuk kedokteran sama sepertimu." Aldi bergeming mendengar semua itu.

Jadi selama ini Sagita membohongiku? Ia bercerita seolah dia korbannya. Sial. Mana yang harus aku percaya?

"Dan ... Sagita?" Aku berani bertanya dengan ragu. Ia melirikku sekilas lalu tersenyum sinis.

"Suatu hari, orang tua kita bertengkar hebat. Kamu tidak tahukan?" Ia memandang Aldi sinis. "Saat aku pulang, rumah sudah berantakan. Ayah lebih memilih Sagita daripada ibu. Dan gadis itu? Menerima Ayah dengan tangan terbuka. Kamu juga tidak tahu itukan? Dasar bodoh! Kamu sama sekali tidak berguna!"

"Dia ... tidak mungkin mengkhianatiku." Aldi terlihat sangat terkejut.

"Itulah kenapa ayah menentang pertunanganmu dengan Sagita." Aldan kembali mengasah pisaunya. "Saat aku tahu ibu menangis karena ulah Ayah, yang terpikir adalah aku harus menghabisi salah satu dari mereka. Ayah atau Sagita. Dan akhirnya aku lebih memilih menghabisi Sagita. Karena aku pikir, setelah Sagita pergi maka Ibu dan Ayah akan hidup normal kembali. Tapi ternyata ... diluar dugaan."

"Lalu ... kenapa Jihan bisa terlibat? " Ia menghentikan mengasah pisau lalu melirikku tajam dengan mata sendunya.

"Dia kekasihku." Aldan berjongkok, mengelus wajah Jihan yang penuh darah. "Dia juga yang membantuku membunuh Sagita. Kekasih yang setia. Tapi itu dulu ...." Wajahnya yang datar tiba-tiba berubah menjadi bengis.

Ia mendekatkan ujung pisau ke wajah Jihan dan dengan perlahan darah segar keluar dari pipinya. Aku memejamkan mata, rasanya seperti aku yang merakan goresan itu."Hentikan!" Teriakku keras. Ia berdiri, menjilat ujung pisau itu dengan sangat nikmat. Menjijikkan.

"Dia mulai berubah akhir-akhir ini dan setelah aku selidiki ternyata karena kamu penyebabnya." Aldan berjalan ke arahku.

"Jangan mendekat!" Aldi menghadang dan berdiri tepat di depanku.

"Wow, ada pahlawan rupanya disini. Oke, aku tidak akan mendekatinya untuk sekarang ini." Aldan mengangkat kedua tangan di belakang kepala, seperti seorang penjahat yang tertangkap polisi.

"Sebenarnya sangat mudah membunuhmu, terlebih saat Sagita sudah aku tahan dengan makhluk astral suruhanku dan sekarang dia sudah mati dengan sesungguhnya. Didetik-detik terakhir menghabisimu, Jihan berbelok dan bahkan ia terlihat melindungimu. Kamu tahu? Aku benci pengkhianatan!"

"Jadi, kamu yang mendorong ...." Aku tak percaya dibuatnya.

"Ya! Aku mendorongnya seperti meniup semut dari atas tanganku seperti ini." Dia mempraktekkan meniup seuatu di atas tangannya. "Dia meronta, memohon ampun, tapi justru itu semakin membuatku bersemangat untuk membunuhnya."

"Kamu gila! sakit! psikopat!" Aku menghardiknya. Dadaku terasa sesak.

"Jaga mulutmu!" Dia menendang kursi yang ada dihadapannya keras. Mata sendu itu menyiratkan kemarahan dan kebencian.

"Tenanglah, Al. Kita bisa bicarakan ini baik-baik." Aldi mencoba bernegosiasi dengan pria berpakain hitam itu.

Bugh!

Aldan memukul wajah kembarannya. Tubuh Aldi terjungkal kebelakang, darah segar terlihat keluar dari sudut bibirnya. "Aku sedang tidak ingin bernegosiasi dengan siapapun! Yang aku inginkan hanya membunuh gadis itu." Aldan menunjukku.

"Jangan!" Aldi menarik Aldan lalu dengan cepat menindihnya. "Sadarlah. Jangan jadi pembunuh seperti ini." Aldi menahan kedua tangan Aldan ke belakang.

"Apa pedulimu? Bukankah selama ini kamu sama seperti mereka, memandang remeh diriku!"

"Tidak, itu salah. Apa kamu tidak ingat kalau aku selalu mengalah untukmu sejak dulu? Kamu kuat, energik tidak sepertiku yang mudah sakit."

"Cuih, gara-gara sifatmu itu aku jadi sering kena marah mereka!"

Brak!

Dengan sekuat tenaga Aldan memutar balikkan tubuh mereka sehingga sekarang Aldi ada dibawah. "Lari, Meira. Lari!" Aldi berteriak di tengah cekikan yang diberikan Aldan.

"Larilah dan pisau ini akan menembus mata kekasihmu!" Aldan mengangkat tinggi pisau yang ia selipkan di kausnya tadi.

Langkahku terhenti. "Jangan dengarkan dia, Meira. Lari! Dia tidak akan berani melakukannya!"

Sleepp!

Pisau itu menancap di bahu kiri Aldi. Aku menutup mulut, terkejut bercampur takut. Dia benar-benar gila. "Al ...." Suaraku tertahan. Tubuhku memanas dan merinding seketika.

"Sudah kubilang. Jangan mencoba melawanku!" Tanpa rasa ampun, Aldan menarik pisau itu lagi dengan keras.

"Aww! Argh!" Aldi kesakitan. Tangannya terulur menutup luka dan mencoba menghentikan darah yang mengalir deras dari bahu kirinya.

Lelaki bertato itu berjalan ke arahku, sempat terhenti karena tangan kanan Aldi mencoba menahan langkahnya.

Brak!

Ditendangnya tangan berlumuran darah itu dengan kuat. "Nikmati saja detik-detik kematianmu!" umpatnya.

Ia kembali berjalan, langkahku terhenti saat tubuhku tertempel di dinding. Ia menyeringai dan dengan kasar menarik rambutku lalu menghempaskan ke sisi kosong. Kepalaku terbentur lantai dengan keras, mendadak pandanganku kabur. Pusing.

"Ja-ngan sakit-i dia Al," ucap Aldi terbata, ia mencoba berdiri dengan sisa tenaganya.

"Kita lihat, seberapa kuat gadis ini bertahan hidup." Ia mengambil tali merah dari belakang meja besar di sisinya. Membuat simpul lingkaran dan kembali berjalan mendekatiku.

"Jangan." Aku merangkak mundur.

Sreet!

"Lepaskan aku!" Dia menarik kaki dan menyeretku dengan kasar. Aku mencoba menggapai apapun yang ada di sekitar tapi selalu terlepas. Tangan terasa lemah, kepala pusing dan pandanganku mulai kabur.

"Sepertinya di sini cocok. Lihatlah, Al. Akan aku tunjukkan bagaimana aku menggantung Sagita dulu." Aldan berseru ke arah Aldi yang terduduk lemah. Terlihat bajunya yang penuh darah.

Rambutku ditarik kasar. Ah, sakit sekali. Dikaitkannya tali ke leher lalu diikatnya kuat-kuat. "Lepaskan aku." Aku mengiba disisa-sisa tenagaku.

"Ah, tunggu! sebelum menggantungnya, aku melakukan ini kepada Sagita."

Bugh!

"Aw!" Mataku terpejam. Dia menendangku keras, tepat di ulu hati. Ini sangat sakit. Dadaku terasa sesak.

"Enak? Lagi?"

Bugh!

Ia menendangku lagi, kali ini dipunggung belakang."Hen-ti-kan." Aku mulai sesak napas.

"Ya, seperti ini. Lihat Al, dulu napas Sagita juga tersenggal-senggal seperti ini." Dia tertawa bahagia. Dia benar-benar sakit.

"Lalu dengan perlahan, aku tarik talinya seperti ini."

Tubuhku yang tadinya tergolek lemah kini mulai bergerak, terangkat perlahan, kakiku mulai menginjak tanah dengan lemas dan napas ... Aku ... Kesulitan mengambil napas. Kakiku sudah mulai menggantung, tanganku meronta, mencoba melepaskan tali di leher. Kakiku menendang angin, mencoba mencari pijakan untuk menahan tubuhku.

"Siapapun tolong aku!" Teriakku dalam hati.

Air mata mulai membasahi pipi, inikah rasanya ketika nyawa akan terpisah dari raga. Sakit sekali, sungguh sangat sakit, aku terbatuk bekali-kali, lidah sudah mulai terjulur keluar. Sedangkan di bawah sana terdengar gelak tawa dari Psikopat itu.

"Ya Alloh ... Inikah akhir hidupku?" Lemas, semakin lemas. Aku pasrah ....

Dor! Dor!

Terdengar suara beberapa letusan, disusul suara teriakan seorang pria dan erangan kesakitan lalu gelap. Sunyi. Aku tak bisa mendengar apapun lagi sekarang.

---

"Meira, Meira ...." Seseorang memanggilku. Aku mengerjapkan mata. Mencoba mengenali dimana aku berada sekarang.

"Hei, kamu sudah sadar?" Aldi mengelus pipiku lembut. Ada senyum kelegaan di wajahnya. Tapi aku juga melihat matanya mengembun.

Aku menangis, entah harus sedih atau bahagia. Aku masih hidup "Al ... Bagaimana bisa?"

"Semua sudah menerima ganjarannya masing-masing, tenanglah."

"Jihan?" tanyaku lemah. Dia menggeleng lemah, aku tahu maksudnya.

"Aldan?"

"Dia ... juga sudah meninggal." Aku mengernyitkan dahi. Bingung.

"Orang yang membunuh ayahku, ia juga membunuh Aldan." Ia menghapus air yang mulai menumpuk di sudut matanya. "Terima kasih, Meira. Telah memenuhi janji untuk tetap bertahan hidup sampai sekarang." Ia menggenggam tanganku erat.

"Dan, izinkan aku menemani hidupmu sampai maut memisahkan kita. Meira, will you marry me?" Ia menatapku tajam dengan mata sendunya.

Aku tak mampu berkata-kata, tangisan ini semakin pecah. Aku mengangguk lemah dengan senyum yang hadir ditengah air mata.

"Terima kasih." Ia mengecup punggung tangan dan mengusap pucuk kepalaku lembut.

TAMAT

Ditulis oleh Yeoja Canss, Bintang Pelangi
Diterbitkan pada grup ‎Komunitas Bisa Menulis dengan judul Kamar Nomor 13


0 Response to "Meira dan Gadis Bersyal Merah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel